Mahkamah Nurani di Ujung Ramadhan

Belum juga ada setengah jam, diriku duduk termenung di tengah ruang mesjid melakukan i’tikaf di malam ke dua puluh sembilan, mataku sangat berat untuk dibuka dan tiba-tiba saja diriku ditarik oleh oleh makhluk tinggi besar dan mendudukkanku pada sebuah kursi. Tentu saja aku kaget setengah mati, rasa kantuk pun sirna seketika. Oh, aku kenal kursi ini. Aku dulu pernah duduk di kursi ini, sebagai seorang pesakitan yang tengah disidang pada Mahkamah Nurani.

Ini kali kedua diriku duduk di kursi ini. Ya, di depanku ada meja yang cukup tinggi lengkap dengan kursi kebesaran milik hakim agung. Di belakang kursi ada dinding yang bertuliskan Mahkamah Nurani berwarna emas. Aku pasrah, menunggu apa yang akan terjadi.

Hanya dalam kedipan mata, kursi kebesaran telah duduk seseorang yang mirip Prof. Albus Percival Wulfric Brian Dumbledore, Kepala Sekolah Hogwarts yang terkenal itu. Lagi-lagi, diriku akan disidang oleh pria berwibawa ini.

“Ehm. Kamu masih ingat aku Gus?”

“Mm.. masihh, Yang Mulia.”

“Aku tidak mau berbasa-basi, langsung pada pokok masalahnya. Kami sudah menunggumu melakukan i’tikaf di mesjid sejak awal malam sepuluh terakhir, kamu baru muncul di malam ke dua puluh sembilan.  Apa alasanmu?”

“Ehhh… saya terlalu sibuk Yang Mulia. Dan memang saya sengaja datang di malam ke dua puluh sembilan, malam yang pas dengan datangnya lailatul qadar.”

“Sibuk apa? Beribadah atau urusan dunia? Lagi pula, kamu sombong dan sok tahu dengan datangnya lailatul qadar. Tidak ada yang tahu, kapan malam seribu bulan itu datang. Itulah kenapa ada perintah untuk menghidupkan malam di bulan ramadhan. Sekarang aku tanya, sudah khatamkah bacaan Qur’an kamu?”

“Belum Yang Mulia.”

“Bah! Memang dapat berapa juz?”

“Ehh.. hanya sampai al Baqarah ayat 190.”

“Hahh… berapa? Aku tidak mendengar jawabanmu. Sungguh memalukan. Lalu, tarawehmu?”

“Separuh bolong, Yang Mulia.”

“Ampun…! Pasti ibadahmu yang lain tidak kalah buruknya. Di buku catatan ini, sadaqah yang kamu keluarkan dua kali memberikan uang seribu perak untuk pengemis, zakat fitrah dengan beras paling murah, lalu kamu pernah menolong nenek-nenek menyeberang jalan.  Dan catatan yang ini … sungguh memalukan lagi!”

“Iya, Yang Mulia.”

“Selama ramadhan indera penglihatan dan pendengaranmu belum berpuasa. Mulutmu masih sering melakukan kebohongan. Tanganmu masih melakukan maksiat!”

“Ampun, Yang Mulia.”

“Jangan minta ampun kepadaku. Apakah kamu masih merindukan ramadhan tahun depan?”

“Mm..mass… sih.. Insya Allah.. Insya Allah!”

“Hanya di mulutmu atau dari hati nuranimu? Bukankah dengan berakhirnya ramadhan kamu akan bersuka cita, bisa makan minum lagi. Bebas bermaksiat lagi?”

“Bukan begitu, Yang Mulia. Tapi…”

“Bagaimana derajat taqwa akan kamu dapatkan jika cara berpuasamu semacam ini? Kamu hanya mendapatkan haus dan lapar belaka, Gus!”

Azan subuh membuatku tersadar dari tidurku.