Berdoa pun kita belum pandai

Menyimak ceramah Ustadz Quraish Shihab di waktu menjelang berbuka puasa dapat mencerahkan hati dan fikiran saya. Salah satu materi yang disampaikan adalah doa yang diperkenankan Tuhan.

Sudah menjadi tradisi di masyarakat kita, jika ada upacara-upacara resmi sering ditutup dengan pembacaan doa. Coba perhatikan, sebagian dari permohonan kita itu bisa jadi tidak memenuhi syarat doa karena tidak jarang dalam kalimat doa tersebut terasa bahwa permohonan yang kita panjatkan bagaikan laporan kepada Tuhan yang disampaikan dengan bangga dan panjang lebar. Kita bagaikan berpidato di hadapan Tuhan. Bukankah dalam QS 7 : 55 diperintahkan “berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

Lalu, pada ritual keagamaan kita mempunyai kecenderungan menghimpun semua doa yang diketahui dan pernah dipanjatkan dalam berbagai situasi dan kondisi, sehingga doa terasa membosankan dan kata amiin diucapkan sebagai isyarat kepada si pemimpin doa agar segera menyudahi doanya. Misalnya, dalam khutbah Jumat masih sering terdengar doa yang pernah dipanjatkan pada masa silam ketika umat Islam sedang berperang.

Apakah contoh di atas menunjukkan bahwa kita masih perlu belajar berdoa, dimulai dari keharusan membarengi doa dengan ketabahan berusaha, sampai pada etika berdoa dan materi harapan yang dipanjatkan?