“Min, kenapa kamu menangis tersedu-sedu begitu rupa?” Saya melihat Min terduduk lesu, butir-butir air matanya membanjiri wajahnya.
Ia diam, tapi saya yakin ia mendengar pertanyaan saya.
Saya duduk di sebelahnya dengan membawa segelas air putih. Ia mau menerima air putih tersebut dan meneguknya pelan-pelan. “Aku baru saja kehilangan panutan, mas!” katanya pelan.
Kemudian ia menceritakan kisahnya. Ia baru saja pulang dari perjalanan jauh untuk menjumpai seseorang yang sangat dihormatinya. Ia menemui tokoh idolanya, yang selama ini telah banyak memberikan inspirasi dalam kehidupannya. Ia pergi membawa dua buku karya tokoh idolanya itu karena ia ingin ada torehan tanda tangan sang idola. Tak lupa ia juga membawa kamera.
Seminggu ia berada di tempat tinggal tokoh panutannya. Tapi apa yang disaksikannya? Kehidupan sang tokoh sama saja dengan kehidupan manusia lain, bahkan kalau boleh disebut sebenarnya tak lebih dari manusia biasa yang penuh dengan salah. Semakin hari ia menyaksikan perbuatan-perbuatan tokoh panutan yang tidak sesuai dengan ajaran-ajarannya selama ini.
Ia sangat membenci sang idola. Ia campakkan buku karangan karya tokoh panutan yang selama ini menginspirasi dirinya.
Kembali ia menangis tersedu, bahkan tubuhnya lebih bergoncang lagi.
“Sudahlah Min. Itulah jadinya kalau kita mengidolakan siapa, dan bukan apanya,” kata saya mencoba untuk bijak.