Bale Sigala-gala

Sengkuni tidak tenang dalam tidurnya. Siang hari sebelumnya ia dimarahi oleh Prabu Destarastra Raja Hastinapura. Ya, gara-garanya sangat sepele, Sengkuni memberikan laporan yang salah atas nasib Bima a.k.a Werkudara, putra kedua Pandawa itu. Bima dilaporkan sudah tewas tenggelam di sungai Gangga, tetapi sesungguhnya Bima masih segar bugar.

Akal licik Sengkuni berputar-putar di otaknya. Api kebencian kepada Bima semakin menyala-nyala dan membakar hati Sengkuni. Sungguh, ini gagasan yang sangat radikal, Sengkuni ingin benar-benar membakar tubuh Bima. Kalau perlu tidak hanya Bima saja, tetapi juga Kunti dan kelima Pandawa. Sengkuni tidak mau melanjutkan tidurnya. Rencana radikal itu harus dimatangkan malam itu juga. Maka, ia segera memanggil Ir. Purucona, MSc – arsitek terbaik di Hastinapura.

“Purucona, untuk rencana besar ini sepenuhnya aku percayakan kepadamu!” kata Sengkuni dengan mengepalkan telapak tangannya.

“Tolong Paduka jelaskan rencana besar itu, saya belum paham,” jawab Purucona yang memang belum memahami keinginan Sengkuni.

“Begini. Kamu harus membangun sebuah cottage di atas pegunungan Himalaya. Tetapi, buatlah bangunan itu mudah terbakar. Terserah bahan bangunan dari apa, kamu yang lebih tahu. Ingat, harus mudah terbakar dalam hitungan detik!” Puas hati Sengkuni setelah mengutarakan maksudnya.

“Baik, Paduka. Akan segera saya laksanakan perintah Paduka ini,” jawab Purucona.

“GPL!” bentak Sengkuni.

“Apa itu Paduka?” tanya Purucona.

“Gak Pake Lama, dodol. Arsitek kok nggak gaul amat sih,” sungut Sengkuni.

Memang, bangunan cottage yang megah dan mewah tersebut cepat diselesaikan oleh Purucona yang Ir dan MSc itu. Tetapi sesungguhnya cottage megah itu berupa bangunan semi permanen itu dibuat dari bahan-bahan yang mudah terbakar. Sengkuni sangat puas atas hasil karya Purucona. Cottage itu diberi sebutan Bale Sigala-gala.

Langkah selanjutnya, Sengkuni mendekati Duryudana, sulung Kurawa alias putra kesayangan Prabu Destarastra Raja Hastinapura. Ia menyampaikan maksudnya, dan Duryudana tanpa syarat apapun menyetujui rencana Sengkuni. Mereka pun akhirnya mengundang Dewi Kunti dan kelima anaknya, Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa, pada malam purnama sebelas hari lagi.

Salah satu ajaran yang dipegang teguh oleh Pandawa adalah tidak menaruh dendam kepada orang yang telah menganiaya mereka, termasuk klan Kurawa yang beberapa kali telah bertindak sewenang-wenang terhadap mereka. Kunti dan anak-anaknya akan memenuhi undangan Duryudana.

Syahdan, rencana tersebut tercium oleh Widura – paman Duryudana. Sebagai orang yang mempunyai kelebihan membaca hal-hal yang akan terjadi kemudian hari, Widura memanggil orang kepercayaannya untuk membuat sebuah terowongan di belakang bangunan Bale Sigala-gala. Terowongan tersebut dibuat dengan tujuan sebagai jalur evakuasi.

Dan saat yang ditunggu-tunggu Sengkuni datang juga. Ia terlihat gelisah menunggu kedatangan Kunti dan kelima anaknya. Betapa lega hatinya, begitu dilihat Kunti datang bersama putra Pandawa didampingi oleh kedua anak Widura, Sanjaya dan Yuyutsu.

Di Bale Sigala-gala mereka dijamu dengan keramahan palsu. Hidangan berlimpah ruah. Keluarga Kurawa dan Pandawa berbaur menjadi satu. Acara berlangsung hingga tengah malam. Kurawa pamit dan mempersilakan Pandawa untuk istirahat di Bale Sigala-gala.

Sengkuni, Duryudana dan Purucona tidak langsung pulang ke istana. Mereka masih mempunyai tugas yang maha penting yaitu membakar Bale Sigala-gala dan para penghuninya.

Malam semakin tua. Burung gagak di atas pohon mendendangkan nyanyian kematian. Setiap detik mereka lalui dengan hati berdebar. Keringat Sengkuni membasahi pakaian yang dikenakannya. Ia paling tidak sabar menunggu saat-saat tragis yang menjadi gagasannya.

“Blaaarrr…….!!!!!!” Terdengar bunyi ledakan sangat keras yang memekakkan telinga. Asap hitam membumbung tinggi dibarengi dengan jilatan api yang siap melahap Bale Sigala-gala dan para penghuninya.

Sengkuni dan Duryudana takjub. Terpana. Betapa dahsyatnya rancang-bangun buah mahakarya Ir. Purucona, MSc itu. Hanya sekejap, Bale Sigala-gala menjadi abu. Sisa asap masih terlihat. Merasa pekerjaannya sudah selesai, Sengkuni, Duryudana dan Purucona berjalan menuruni lereng untuk kembali ke istana.

“Purucona, aku kagum dengan hasil kerjamu!” kata Sengkuni dengan bibir nampak tersenyum.

“Tapi ngomong-omong apa yang memicu ledakan dahsyat dan langsung meluluhlantakkan Bale Sigala-gala tadi?” tanya Duryudana penasaran.

“Tabung elpiji 3 kg, Tuanku!” jawab Purucona, bangga.