Renungan di Hari Ibu

Malin Kundang adalah contoh seorang anak yang durhaka kepada ibunya. Rupanya di era komputer ini semakin banyak manusia yang mempunyai tabiat seperti Malin Kundang. Berita terakhir yang kita dengar, seorang anak dengan sadis memotong tubuh ibunya menjadi sebelas bagian. Masya Allah! Pada kesempatan ini, saya mengajak pembaca untuk merenungkan perjuangan ibu kita tercinta. 

Sembilan bulan ibunda mengandung kita. Ke mana saja kita dibawanya, tak kenal lelah. Segala cara ditempuh agar kandunganya sehat. Sampai-sampai ibunda takut bila tidur tengkurap. Saat melahirkan ibunda mempertaruhkan nyawa satu-satunya, sementara ayah gelisah menghabiskan rokok berbatang-batang.

Kita pun jadi orok. Dengan kasih sayang, ibunda mengasuh kita. Tengah malam kita menangis, ibunda terbangun mengganti popok kita. Waktu sarapan pagi, anaknya menangis karena buang air ibunda menghentikan makan paginya untuk menceboki anak kesayangannya. Sarapan pagi selesai ibunda membersihkan piring kotor. Kemudian mencuci pakaian, sementara ayahanda pergi ke kantor (mungkin) di jalan sambil cuci mata.

Ibunda tak bosan mengerjakan itu semua hingga kita menjadi manusia harapannya. Pantaskah kita durhaka kepada ibunda? Kenapa harus membentak ibunda, ketika beliau terlambat menyiapkan makan siang? Sungguh berat tanggung jawab seorang ibu. Kalau dia salah mengasuh anak, rusaklah masa depan si anak.

Tabloid Cempaka Minggu Ini, 12 Desember 1990 dalam rubrik Sambungrasa

Susu Kaleng dan Kumpul Kebo

Saya tersenyum ketika membaca tulisan di Kalijan (CMI, 3 Oktober 1990, Sambungrasa) yang begitu lugunya menginterpretasi suatu tulisan dengan gaya ironi. Beliau mempermasalahkan, mungkinkah kumpul kebo akibat susu kaleng? Secara singkat saya jawab : tidak.

 

Rubrik Sambungrasa CMI, suatu forum milik pembaca setia CMI untuk mengemukakan pendapat atawa gagasan yang selalu saya simak. Di situ banyak sekali lontaran ide cemerlang yang berasal dari kalangan anak muda. Salah satu tulisan yang sempat dimuat di rubrik tersebut adalah “Jangan Ciptakan Generasi Kaleng” (CMI, 29 Agustus 1990) yang kemudian ditanggapi oleh dik Kalijan.

Di sini, dik Kalijan keliru mengambil kesiimpulan. Bukan susu kaleng yang menyebabkan seseorang melakukan kumpul kebo, tetapi seorang ibu yang terlalu mementingkan kariernya, sehingga ia lupa memperhatikan perkembangan anak-anaknya. Salah satu akibat itu semua, setelah dewasa nanti si anak suka melakukan “kumpul kebo”. Betapa tidak, merasa tidak mendapat kasih sayang orang tua, mereka mencari “kasih sayang” di luar rumah yang akibatnya mereka salah langkah seperti terjerumus dalam narkotika, minuman keras dan tragisnya pergaulan bebas di antara lawan jenis (free sex). Bukankah itu yang namanya “kumpul kebo” di kalangan generasi kaleng?

O, betapa piciknya bila berpendapat bahwa minum susu sapi menyebabkan suka “kumpul kebo”. Susu sapi membuat kita sehat. Rasanya kurang, apabila sarapan pagi tidak ada segelas susu sapi segar. Makanya, peternak sapi perah selalu berusaha meningkatkan produksi susu, karena masyarakat mulai sadar betapa pentingnya minum susu bagi tubuh. Tapi ingat, bagi bayi ASI jelas jauh lebih bermutu daripada susu kaleng.

Tabloid Cempaka Minggu Ini, 24 Oktober 1990 dalam rubrik Sambungrasa

Kenakalan Remaja: Menengok Kehidupan si Unyil

Akhir-akhir ini kenakalan pelajar semakin brutal. Mereka mulai mengganggu ketertiban dan kepentingan umum, seperti merampok, merusak bis, menganiaya orang lain, dan masya Allah sebagian mereka berbuat tak senonoh terhadap wanita (TEMPO, 8 September 1990, Kriminalitas).

Perbuatan mereka ini seolah-olah menampar muka para guru, yang notabene adalah seorang pendidik, baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun menanamkan moral kepada anak didiknya. Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan guru karena orangtua pun sangat berperan dalam mendidik anak-anaknya. Begitu pula lingkungan tempat anak-anak itu tinggal sangat berpengaruh bagi perkembangan jiwa anak.

Tidak sedikit pelajar yang tidak bisa memecahkan masalah pribadinya, kemudian melampiaskan dalam bentuk kebrutalan, yang meresahkan masyarakat. Untuk itu tidak ada salahnya, kalau kita menengok potret kehidupan Si Unyil, yang berorientasi kepada problem solving.

Meskipun ini sebuah cerita, ia mampu memecahkan permasalahan pribadinya, bahkan lingkungan masyarakatnya. Misalnya, ia mampu melerai teman yang berkelahi, mengerahkan masyarakat untuk kerja bakti memperbaiki jalan, atau ia mencetuskan ide untuk mengadakan perayaan 17 Agustusan. Dia juga nakal, tapi masih dalam kategori “kenakalan biasa”.

Memang, Si Unyil hidup di Desa Sukamaju, bukan di kota besar. Ia belum mengenal narkotik, film biru, atau hidup di tengah masyarakat berego tinggi. Apakah kenakalan pelajar ini merupakan cermin hasil pendidikan kita? Tidak, buktinya banyak pelajar kita yang berprestasi di bidang akademis, social budaya, dan bidang-bidang lainnya.

Majalah TEMPO No. 33, 13 Oktober 1990 dalam rubrik Surat