Kenakalan Remaja: Menengok Kehidupan si Unyil

Akhir-akhir ini kenakalan pelajar semakin brutal. Mereka mulai mengganggu ketertiban dan kepentingan umum, seperti merampok, merusak bis, menganiaya orang lain, dan masya Allah sebagian mereka berbuat tak senonoh terhadap wanita (TEMPO, 8 September 1990, Kriminalitas).

Perbuatan mereka ini seolah-olah menampar muka para guru, yang notabene adalah seorang pendidik, baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun menanamkan moral kepada anak didiknya. Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan guru karena orangtua pun sangat berperan dalam mendidik anak-anaknya. Begitu pula lingkungan tempat anak-anak itu tinggal sangat berpengaruh bagi perkembangan jiwa anak.

Tidak sedikit pelajar yang tidak bisa memecahkan masalah pribadinya, kemudian melampiaskan dalam bentuk kebrutalan, yang meresahkan masyarakat. Untuk itu tidak ada salahnya, kalau kita menengok potret kehidupan Si Unyil, yang berorientasi kepada problem solving.

Meskipun ini sebuah cerita, ia mampu memecahkan permasalahan pribadinya, bahkan lingkungan masyarakatnya. Misalnya, ia mampu melerai teman yang berkelahi, mengerahkan masyarakat untuk kerja bakti memperbaiki jalan, atau ia mencetuskan ide untuk mengadakan perayaan 17 Agustusan. Dia juga nakal, tapi masih dalam kategori “kenakalan biasa”.

Memang, Si Unyil hidup di Desa Sukamaju, bukan di kota besar. Ia belum mengenal narkotik, film biru, atau hidup di tengah masyarakat berego tinggi. Apakah kenakalan pelajar ini merupakan cermin hasil pendidikan kita? Tidak, buktinya banyak pelajar kita yang berprestasi di bidang akademis, social budaya, dan bidang-bidang lainnya.

Majalah TEMPO No. 33, 13 Oktober 1990 dalam rubrik Surat

Primbon Jawa, Pancen Oye!!

Saya bukan mBah Roso yang meramal nasib orang dari weton dan pasaran hari lahir, yang bisa didapatkan dengan menulis SMS ke reg spasi manjur kirim ke sekian-sekian. Tapi ada saja teman saya yang minta dihitungkan “hari baik” untuk menentukan pindah rumah, hajatan atau kecocokan perjodohan. Tentu saja berdasarkan hitungan Primbon Jawa.

Pendapat saya, primbon jawa disusun oleh para waskita atawa pujangga atawa empu pada jaman dulu berdasarkan pengamatan dan pencatatan pertanda dari alam atau dari pengalaman orang-orang yang mengalami suatu peristiwa, kemudian para empu mencatat di benaknya. Misalnya, jika ada lintang kemukus terlihat di angkasa dan jatuh di suatu wilayah, maka akan terjadi peristiwa tragis yang memakan banyak korban jiwa. Atau, jika seseorang bermimpi kejatuhan bulan, dia akan menjadi seseorang pemimpin. Primbon itu semacam ensiklopedi kehidupan. read more

Jadi Caleg Kok Tidak Pede

Salah satu pemandangan yang jamak saya lihat sepanjang perjalanan ke kantor adalah berjejernya spanduk, poster dan baliho gambar-gambar caleg yang akan berebut kursi legislatif di tahun 2009. Kalau saya amati, slogan-slogan mereka hampir seragam. Berjuang untuk kepentingan rakyat, bahkan ada beberapa caleg yang pernah duduk di periode sebelumnya menjual “kemiskinan” rakyat. Lha, pada saat mereka menjadi pengambil keputusan dan kebijakan apa yang mereka perjuangkan untuk rakyat? 

Berbagai macam gaya dapat kita saksikan di sana. Ada yang tersenyum, ada yang termenung (caleg ini menyangga dagunya, wajah tidak melihat ke kamera), ada juga yang tegang. Untuk saat-saat sekarang masih saya lihat beberapa ucapan “selamat idul fitri 1429 H” dan ditambahi embel-embel di belakang kalimat itu, mohon doa restu untuk maju jadi caleg, dengan menyebutkan nama dan daerah pilihan mereka. 

Kalau saya amati lebih jauh, para caleg ini rupanya kurang pede, entah karena tidak mampu atau tidak dikenal masyarakat luas. Foto atau gambar mereka tidak sendirian, tetapi dengan background gambar seorang perempuan berbadan makmur. Barangkali mereka akan mengatakan, ini loh saya, didukung oleh tokoh yang fotonya ada di belakang saya. 

Ya, tidak apa-apa sih. Tapi rakyat pasti sudah cerdas dalam memilih wakilnya, siapa yang layak duduk mewakili mereka di legislatif nanti. Seleksi alam akan berlaku pada Pemilu 2009.