Diculik jin#2

Cerita ini sambungan dari: Diculik jin#1

Setelah sarapan, saya menikmati sejuknya angin pagi Laut Jawa. Beberapa jam lagi, Kapal Kelimutu yang saya tumpangi dari Banjarmasin akan berlabuh di Pelabuhan Tanjung Mas Semarang. Angin laut memainkan rambut saya yang sudahs setahun tidak saya potong.

Ah, akhirnya saya meninggalkan Kalimantan juga. Pengambilan keputusan saya untuk berhenti bekerja terbilang sangat cepat, karena beberapa teman mengambil cuti pulang ke Jawa dan saya ingin pulang bersama mereka. Pulang ramai-ramai pasti mengasyikkan dan kami memilih menggunakan moda transportasi laut.

Dari camp kami naik perahu menuju ke Kota Puruk Cahu. Dari sini kami naik bus ke Banjarmasin, dengan tujuan akhir di Pelabuhan Trisakti. Hampir setahun saya tidak ketemu orang tua, membuat perjalanan berasa sangat lambat.

“Ngopi sik, den!”

Saya menengok asal suara. Mas Giatno menawari saya kopi hitam yang ia beli dari kantin kapal.

Suwun mas. Teman-teman pada ke mana?” tanya saya.

“Sebentar lagi juga ke sini. Tadi pada beli kopi juga.”

Kami ada berempat yang memutuskan pulang ke Jawa. Saya sendiri yang berhenti bekerja, sedangkan tiga teman saya (Giatno, Min dan Budi) mengambil cuti tahunan (meskipun mereka lebih dari tiga atau empat tahun belum mengambil cuti).

Dan benar saja, Min dan Budi bergabung bersama kami.

“Rencana sampeyan ke depan seperti apa mas?” tanya Min kepada saya.

“Ndak tau, Min. Mungkin merantau ke Jakarta,” jawab saya.

Kami ngobrol ngalor-ngidul memperbincangkan masa depan. Mas Giatno sendiri agak gelisah memikirkan istrinya yang tengah hamil tua. Apakah anak pertamanya sudah lahir? Maklum, di masa itu kami belum mengenal henpon alih-alih berkirim via SMS atau WA.

Lagi asyik-asyiknya ngobrol, kami dikejutkan oleh kehadiran lelaki yang sebaya dengan saya, teman lama kami yang berbulan-bulan tiada pernah bersua lagi: Sartono. Sungguh tidak terduga, kami bertemu dengannya di atas Kapal Kelimutu.

Mas Giatno mencandai Sartono dengan menginjak kakinya, untuk memastikan kalau telapak kaki Sartono tidak melayang. Itu bukan hantu Sartono!

Kami meminta Sartono untuk menceritakan mengapa saat itu ia menghilang di tengah hutan. Apa benar diculik jin? Ia hanya tertawa, dan sejenak meninggalkan kami yang masih kebingunan. Tak lama ia kembali lagi membawa seorang perempuan berwajah manis berkulit seputih susu.

“Kenalkan, ini istriku,” ujar Sartono bangga.

Kami bersalaman secara bergantian dan masih belum paham maksud Sartono.

“Perempuan inilah yang tak temui tak jauh dari tenda kita dulu. Aku mengikuti langkah-langkah kakinya, hingga menuju rumahnya. Di sana aku bertemu dengan ayahnya yang merupakan tokoh adat di kampungnya. Besoknya aku dikawinkan dengannya dan aku dilarang keluar dari kampung selama enam purnama,” Sartono berkisah kepada kami.

Saya melihat raut bahagia di wajah Sartono dan istrinya. Pelabuhan Tanjung Mas sudah terlihat nun jauh di sana. Kami segera kembali ke dalam kapal untuk mempersiapkan barang-barang bawaan kami.

Saya periksa saku celana, di sana tersimpan sepasang cincin mas yang saya beli di Martapura. Tak sabar aku segera melamarmu!