Diculik jin#1

Di pertengahan 1993, waktu itu saya bekerja di sebuah perusahaan HPH yang lokasinya di jantung Borneo, sebagai Kasi Perencanaan dan Pemetaan. Seingat saya, untuk menuju camp di tengah hutan – tempat sehari-hari saya bekerja, ditempuh sekitar 8 jam dari Kota Puruk Cahu (di tepi S. Barito) dengan mengendarai jip Toyota Hartop atau seharian jika menyusuri Sungai Murung. Jangan dibayangkan jalan beraspal mulus ya, waktu itu masih berupa jalan tanah yang juga dipakai sebagai jalur logging truck.

Pekerjaan saya berdasarkan dari Laporan Hasil Cruising yakni hasil pengolahan data pohon dari pelaksanaan kegiatan timber cruising pada petak kerja tebangan yang memuat nomor pohon, jenis, diameter, tinggi pohon bebas cabang, dan taksiran volume kayu. Seingat saya, 1 petak kerja berukuran 1 km2 yang disurvei oleh 1 regu timber cruising selama 2 minggu. Ya, kegiatan timber cruising mesti masuk dan menginap di dalam hutan selama 2 minggu!

Suatu ketika saya ikut dalam tim timber cruising untuk merasakan bagaimana hidup di alam bebas di tengah hutan, bukan sebagai orang kantoran yang bekerja di camp (sejatinya lokasi camp juga di tengah hutan). Kami mengambil jatah logistik di kantin camp untuk survei selama 2 minggu seperti mie instan, kopi, teh, beras, dll.

Peralatan atau APD standar yang dibawa adalah parang, jas hujan, dan tentu saja sepatu boot untuk menghindari pacet/lintah yang menempel di kaki. Teman-teman satu tim saya yang sudah terbiasa melakukan timber cruising banyak mengajari saya bagaimana menandai pohon yang boleh dan dilarang untuk ditebang, baik karena alasan masih berdiameter kecil atau karena pohon tersebut dikeramatkan oleh penduduk asli hutan tersebut. Satu per satu pohon kami identifikasi: meranti, kruing, bangkirai, atau ulin berikut taksiran posisi di petak kerja yang berukuran 1 km2 tersebut.

Saban malam kami tidur berpindah-pindah lokasi, lebih sering mendirikan tenda di pinggiran aliran sungai atau sesekali tidur di dahan pohon. Pamali-pamali di tengah hutan sudah saya dengar dari teman-teman, dan saya patuh untuk tidak melakukan hal-hal yang dipamalikan itu.

“Sartono hilang!” Teriak seorang teman membangunkan kami dari lelapnya tidur di malam keduabelas kami.

Seharian kami menghentikan pekerjaan timber cruising dan sibuk mencari keberadaan Sartono. Tidak ketemu. Kami lanjutkan keesokan harinya, lusa, tulat, tubin. Lima hari kami mencari Sartono dan logistik kami sudah benar-benar habis, sehingga kami mengisi perut dari apa yang disediakan oleh hutan kami.

“Sartono diculik jin!” ujar sesepuh kampung yang kami temui.

***

Satu bulan setelah “hilangnya” Sartono saya dipindahkan ke Camp Transit yang terletak di tepi S. Barito, arah hilir dari Puruk Cahu. Suasana jauh “lebih kota” dibandingkan dengan camp di S. Murung. Tugas baru saya berhubungan dengan pejabat kehutanan yang akan melakukan sidak ke lokasi HPH kami.

Dan saya mulai melupakan teman saya yang bernama Sartono itu.

bersambung..