30 S

Akhir bulan September, kira-kira tiga puluh empat tahun lalu.

Anak-anak sekolah menyesaki gedung bioskop. Kapasitas gedung tak sebanding dengan jumlah penonton. Membludak. Tak hanya hari itu, bahkan hari sebelum dan setelahnya tetap penuh sesak, sebab anak-anak sekolah dari tingkat SD hingga SMA diwajibkan menonton sebuah film di gedung bioskop yang terletak di wilayah kota. Bagi murid yang sekolahnya masih di radius perkotaan, mereka akan berjalanan kaki dengan berbaris rapi menuju gedung bioskop.

Saya ingat betul nama gedung bioskop tersebut, yakni Lawu Theatre di Karanganyar, sebuah kota kecil di lereng gunung Lawu, tempat kelahiran saya. Kenapa murid-murid sekolah diwajibkan nonton bioskop pada saat jam belajar? Mereka konon sedang belajar sejarah, dengan nobar film di gedung bioskop. Film yang diputar mengandung pelajaran sejarah bangsa yang terjadi pada tahun 1965. Ya, mereka sedang nobar film yang berjudul Pengkhianatan G30S/PKI sebagai film pendidikan dan renungan karya Arifin C. Noer1. read more

Mandi kucing

Pada waktu SD dulu, saya jarang mandi pagi. Saya tak ingat alasan utama mengapa tidak mandi. Ritual pagi hanya raup – cuci muka – saja, dan membahasi tangan dan kaki. Kemudian ganti baju dan berangkat ke sekolah.

Waktu itu saya dan teman-teman sekolah belum model bersepatu, masih dengan bertelanjang kaki. Menggunakan sandal (jepit) ke sekolah adalah pamali sehingga pilihan cuma dua saja: bersepatu atau nyeker.

Bisa dibayangkan betapa kusamnya kulit saya. Sudah berkulit hitam ditambah dilumuri daki. Kalau kulit saya terkena garuk, maka akan timbul bekas berwarna putih. Orang Jawa menyebut kulit mbekisak, bersisik. read more

Es puter Pak Gombil

Setiap kali melihat orang jualan es puter keliling, saya selalu teringat Pak Gombil. Siapa itu Pak Gombil?

Ini kenangan waktu saya masih SD dulu. Saya bertetangga dengannya. Pak Gombil dan teman-temannya yang asli Wonogiri menyewa sebuah rumah, sebagai tempat memproduksi es puter. Saya dan teman sepermainan sering berkunjung ke rumah Pak Gombil untuk melihat bagaimana es puter tersebut dibuat.

Pagi-pagi sekali, ia dan teman-temannya sudah duduk manis di depan “mesin” es puter miliknya: sebuah tong yang terbuat dari kayu, di tengahnya dimasukkan sebuah tabung aluminium yang di dalamnya telah berisi adonan es puter yang masih cair. Kemudian pada ruang yang kosong (di dalam tong tersebut) diisi dengan bongkahan es batu kemudian ditaburi garam kasar. Dengan kesabaran ekstra-tinggi, tabung aluminium tersebut diputar pelan-pelan sampai adonan di dalamnya membeku dan siap disajikan/dinikmati. read more