Perjalanan hidup seorang Ksatria

Satrio Piningit lahir dari kampus. Hidup pas-pasan, mengandalkan uang kiriman orang tua di kampung. Untuk menggembleng mental dan hatinya, jadi aktivis kampus. Unjuk rasa jadi ekstrakuler tambahan. Menyuarakan hati nurani rakyat yang tertindas oleh rezim yang sedang berkuasa. Lulus dengan IP standar, tidak cumlaude tidak mengapa. Cari kerja ke sana ke mari tidak ada yang mau menerima lamarannya. Jadilah dia Satrio Kalunta-lunta, nebeng hidup dari kost teman satu ke teman yang lain.

Lahir partai baru, melamarlah dia ke sana. Diterima, sebagai punggawa inti karena track recordnya sebagai aktivis kampus dulu. Tidak begitu lama, foto dirinya telah terpajang di sudut negeri, gagah perkasa, berjas rapi, tak lupa ada senyum dikulum. Dia menjelma menjadi caleg. Dari mana dia mendapatkan dananya? Tidak pernah ada yang mengaku siapa yang menjadi bandarnya.

Wahai angin nan lalu, akhirnya duduklah dia di kursi yang terhormat menjadi anggota legislatif. Dia telah berubah menjadi Satrio Mukti Wibawa, gaya hidupnya berubah total : rumah di mana-mana, tanah berhektar-hektar, istri cantik jelita, ponsel keluaran terbaru dan termahal. Sayangnya, dia sedang lupa kepada akarnya. Hidupnya bagai di awang-awang. Seribu tidak pernah cukup, selalu ada keinginan yang lebih.

Celaka tiga belas, dia tertangkap tangan sedang bertransaksi haram, sebuah tindakan konspirasi tentang penyelewengan wewenang. Media mengungkap semua boroknya, predikat ma-lima ada padanya. Maling, madat, madon, main, minum (stealing, opium smoking, womanizing, gambling, drinking), sungguh memalukan. Di jidatnya telah distempel sebagai Satrio Wirang.

Proses hukum pun digelar, kasihan benar kawan yang satu ini, putusan hakim mengalahkan dia, jadilah dia Satrio Kinunjara. Harta benda habis untuk pembelaan di depan hakim, istri jelitanya minta cerai, partai tempatnya bernaung malu untuk menerimanya kembali. Aih… dia benar-benar sudah menjadi Satrio Nelangsa.

Semua orang telah melupakan dia.

Note : Satrio Piningit = ksatria yang sedang disembunyikan, digembleng oleh pengalaman dan alam; Satrio Kalunta-lunta = ksatria yang hidupnya prihatin untuk sebuah tujuan hidup, terlunta-lunta; Satrio Mukti Wibowo = ksatria yang telah berhasil hidupnya, cita-citanya telah tercapai; Satrio Wirang = ksatria yang sedang mendapatkan hal yang mempermalukan dirinya; Satrio Kinunjara = ksatria yang terpenjara, masuk bui; Satrio Nelangsa = ksatria yang hidupnya menderita lahir dan batin

Indahnya Berbagi

Pemerintah rupanya senang menggunakan istilah miskin. Dan memang kenyataannya demikian, di sekeliling kita banyak orang yang hidup berkesusahan, jauh dari hidup layak meskipun ukuran layak di sini tidak akan sama antar satu orang dengan orang lainnya. Pemerintah punya istilah untuk orang miskin ini, yaitu GAKIN singkatan dari keluarga miskin. BPS memberikan kriteria GAKIN sebagai berikut :

  • luas lantai bangunan tempat tinggal yang kurang delapan meter persegi per orang, lantai bangunan tempat tinggal dari tanah, material bangunan dari bambu, kayu murah, dinding juga dari bambu atau rumbia, kayu kelas rendah dan tembok bangunan tanpa diplester
  • tempat MCK, terutama tempat buang air besar (WC), tidak ada atau bersama-sama dengan rumah lain
  • penerangan bukan menggunakan listrik
  • sumber air minum dari sumur dengan mata air yang tidak terlindungi
  • mendapatkan air bersih dari sungai maupun air hujan
  • memasak dengan kayu bakar, arang, minyak tanah, tidak mengkonsumsi daging, susu atau daging ayam per minggu (tidak pernah atau cuma satu kali seminggu),
  • tidak mampu membeli pakaian baru selama setahun atau hanya bisa membeli pakaian baru sebanyak satu stel dalam satu tahunnya
  • hanya makan satu atau dua kali dalam sehari, dan tidak mampu membayar biaya berobat di puskesmas atau poliklinik yang ada di sekitar tempat tinggal mereka
  • pekerjaan kepala keluarga (KK) adalah menjadi petani dengan lahan kurang 0,5 ha, buruh tani, nelayan atau buruh bangunan dan buruh kebun maupun pekerjaan lain, dengan penghasilan kurang Rp600.000 per bulan
  • kriteria lain, kepala keluarga yang tidak tamat Sekolah Dasar (SD) atau hanya tamat SD, tidak memiliki tabungan atau barang simpanan lain yang mudah dijual minimal Rp500.000.

BPS menyebutkan, bukan termasuk kriteria keluarga miskin adalah para pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI/POLRI, pensiunan PNS/TNI/POLRI, serta bukan menjadi pengungsi yang diurus oleh pemerintah, dan bukan penduduk yang tidak tinggal menetap.

Untuk membantu mereka yang miskin pemerintah membuat program-program :

RASKIN kependekan dari beras untuk masyarakat miskin adalah salah satu program pemerintah untuk membantu masyarakat yang termiskin dan rawan pangan agar mereka tetap mendapatkan beras untuk kebutuhan rumah tangganya.

ASKESKIN singkatan dari asuransi kesehatan miskin yaitu sebuah program pemeliharaan yang dikembangkan pemerintah untuk memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi keluarga miskin.

Sayangnya, dalam implementasi di lapangan sering dijumpai adanya penyimpangan-penyimpangan yang eloknya dilakukan oleh orang yang sebenarnya sudah kaya.

Bersyukurlah kita yang mempunyai penghidupan lebih baik dari mereka yang disebut miskin tadi. Tidak ada salahnya, mulai hari ini kita sisihkan sedikit rejeki untuk membantu mereka. Indahnya berbagi kepada sesama saudara.

Donut dan Air Mata Anak Saya

Selasa pagi. Anak saya yang kecil, keluar dari kamar mandi menangis. Sambil mengelap tubuhnya dia menghampiri saya yang akan masuk kamar mandi. Dia bertanya, “Pa, donut krispiku mana?” Dan dia semakin sesenggukan saja, ketika saya jawab bahwa semalam donut itu sudah saya makan. Untuk meredakan tangisnya, saya ucapkan kata maaf berkali-kali. Saya menyesal setengah mati telah menikmati donut krispi anak saya. Ketika saya tawarkan donut yang lain yang masih ada di kulkas, dia menolak. Dia hanya mau sarapan dengan donut krispi.

Hari minggu sebelumnya, anak-anak beli donut. Seperti biasanya beli tidak terlalu banyak, hanya setengah lusin. 2 biji untuk anak saya yang besar, 2 biji untuk si kecil dan 2 sisanya untuk saya. Dari dulu, pesanan saya selalu sama : donut bertabur kacang dan donut krispi. Senin malam saya lihat di kulkas ada 3 donut, 2 di antaranya “jatah” saya. Tanpa ragu saya ambil satu, yang krispi itu, sebagai teman menikmati kopi pahit malam hari.

Pagi harinya, donut krispi itu ternyata diklaim milik anak saya. Tangis si kecil reda, ketika saya janjikan beli donut yang sama sebelum ke sekolah nanti. Jam 6 kurang 10, saya dan anak-anak keluar rumah. Lewat depan dunkin’ donut kok belum buka, langsung saja ke sekolah anak saya yang besar, dari sana baru mampir ke dunkin’ donut lagi.

Donut masih ditata ke rak-rak etalase ketika saya masuk ke dunkin’. Saya beli 2 biji sesuai pilihan anak saya, tentu saja yang krispi itu. Saya raba saku belakang celana, saya terkejut. Saya lupa membawa dompet. Harga donut yang harus saya bayar 12.000 rupiah. Saya kembali ke mobil, mencari uang receh yang biasa saya pakai untuk bayar parkir. Alhamdulillah, cukup untuk membayar donut. Hampir saja saya membuat kecewa anak saya lagi.

Dalam perjalanan ke sekolah, dia nikmati donut krispi itu. Rakus. Melihat dia makan dengan lahap, saya urung mengajukan pertanyaan kepadanya. Saya ingin bertanya kok tumben pengin makan donut krispi yang selama ini dia tidak suka.

Semalam, 2 donut masih teronggok di kulkas. Pagi tadi saya tawarkan ke anak-anak, mereka tidak berminat. Akhirnya saya nikmati sebagai sarapan pagi saya.

Hampir empat belas tahun saya menjadi bapak dari anak-anak saya, ternyata saya masih belum bisa memahami keinginan-keinginan mereka.