Pentas Teater: Penontonnya Sudah Terseleksi

Setelah lakon Sampek Engtay dibredel, kemudian diikuti pula secara berturut-turut dengan pelarangan pementasan Suksesi, pentas si Burung Merak, dan terakhir Opera Kecoa (TEMPO, 8 Desember 1990, Teater), alasan pelarangannya bermacam-macam, dari yang mengandung unsur SARA sampai dapat mengganggu stabilitas masyarakat.

Yang jelas, saya belum pernah mendengar ada pementasan teater yang menyebabkan penonton berbuat “brutal”. Hal itu justru terjadi pada pertandingan sepak bola atau pementasan rock, yang sering membuat penonton bertindak brutal sampai merusak stadion.

Saya kira penonton pentas seni – dalam hal ini pentas teater – sudah terseleksi. Hanya golongan tertentu yang menyenangi teater. Contohnya Teater Gandrik Yogyakarta. Setiap kali pentas, penontonnya membludak dan kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa. Sambil duduk lesehan mereka menonton lakon yang dipentaskan. Tertawa bila sang tokoh ndagel. Bertepuk tangan jika kritikan mengena sasaran. Setelah pertunjukan selesai, mereka tertib pulang ke rumah masing-masing.

Itu Teater Gandrik, yang harga karcisnya sesuai dengan kantung mahasiswa kos. Tentu lain dengan Teater Koma. Penonton Teater Koma adalah kalangan menengah ke atas. Mereka sudah tidak sempat lagi memikirkan lakon di pentas tadi. Betapa pun telanjangnya kritik dilontarkan, penonton kelas ini tak akan mudah “terbakar” (TEMPO, 20 Oktober 1990, Laporan Utama)

Untuk Bung Nano dan Bung Rendra, silakan Anda menangis sepuasnya, sebelum seorang penyair dilarang menangis.

Majalah TEMPO, 29 Desember 1990 dalam rubrik Surat

 

 

 

 

Renungan di Hari Ibu

Malin Kundang adalah contoh seorang anak yang durhaka kepada ibunya. Rupanya di era komputer ini semakin banyak manusia yang mempunyai tabiat seperti Malin Kundang. Berita terakhir yang kita dengar, seorang anak dengan sadis memotong tubuh ibunya menjadi sebelas bagian. Masya Allah! Pada kesempatan ini, saya mengajak pembaca untuk merenungkan perjuangan ibu kita tercinta. 

Sembilan bulan ibunda mengandung kita. Ke mana saja kita dibawanya, tak kenal lelah. Segala cara ditempuh agar kandunganya sehat. Sampai-sampai ibunda takut bila tidur tengkurap. Saat melahirkan ibunda mempertaruhkan nyawa satu-satunya, sementara ayah gelisah menghabiskan rokok berbatang-batang.

Kita pun jadi orok. Dengan kasih sayang, ibunda mengasuh kita. Tengah malam kita menangis, ibunda terbangun mengganti popok kita. Waktu sarapan pagi, anaknya menangis karena buang air ibunda menghentikan makan paginya untuk menceboki anak kesayangannya. Sarapan pagi selesai ibunda membersihkan piring kotor. Kemudian mencuci pakaian, sementara ayahanda pergi ke kantor (mungkin) di jalan sambil cuci mata.

Ibunda tak bosan mengerjakan itu semua hingga kita menjadi manusia harapannya. Pantaskah kita durhaka kepada ibunda? Kenapa harus membentak ibunda, ketika beliau terlambat menyiapkan makan siang? Sungguh berat tanggung jawab seorang ibu. Kalau dia salah mengasuh anak, rusaklah masa depan si anak.

Tabloid Cempaka Minggu Ini, 12 Desember 1990 dalam rubrik Sambungrasa

Susu Kaleng dan Kumpul Kebo

Saya tersenyum ketika membaca tulisan di Kalijan (CMI, 3 Oktober 1990, Sambungrasa) yang begitu lugunya menginterpretasi suatu tulisan dengan gaya ironi. Beliau mempermasalahkan, mungkinkah kumpul kebo akibat susu kaleng? Secara singkat saya jawab : tidak.

 

Rubrik Sambungrasa CMI, suatu forum milik pembaca setia CMI untuk mengemukakan pendapat atawa gagasan yang selalu saya simak. Di situ banyak sekali lontaran ide cemerlang yang berasal dari kalangan anak muda. Salah satu tulisan yang sempat dimuat di rubrik tersebut adalah “Jangan Ciptakan Generasi Kaleng” (CMI, 29 Agustus 1990) yang kemudian ditanggapi oleh dik Kalijan.

Di sini, dik Kalijan keliru mengambil kesiimpulan. Bukan susu kaleng yang menyebabkan seseorang melakukan kumpul kebo, tetapi seorang ibu yang terlalu mementingkan kariernya, sehingga ia lupa memperhatikan perkembangan anak-anaknya. Salah satu akibat itu semua, setelah dewasa nanti si anak suka melakukan “kumpul kebo”. Betapa tidak, merasa tidak mendapat kasih sayang orang tua, mereka mencari “kasih sayang” di luar rumah yang akibatnya mereka salah langkah seperti terjerumus dalam narkotika, minuman keras dan tragisnya pergaulan bebas di antara lawan jenis (free sex). Bukankah itu yang namanya “kumpul kebo” di kalangan generasi kaleng?

O, betapa piciknya bila berpendapat bahwa minum susu sapi menyebabkan suka “kumpul kebo”. Susu sapi membuat kita sehat. Rasanya kurang, apabila sarapan pagi tidak ada segelas susu sapi segar. Makanya, peternak sapi perah selalu berusaha meningkatkan produksi susu, karena masyarakat mulai sadar betapa pentingnya minum susu bagi tubuh. Tapi ingat, bagi bayi ASI jelas jauh lebih bermutu daripada susu kaleng.

Tabloid Cempaka Minggu Ini, 24 Oktober 1990 dalam rubrik Sambungrasa