Sihir Laskar Pelangi

Sejak film Laskar Pelangi diputar pertama kali di layar lebar, baru Minggu 12/10/08 kemarin mendapatkan kesempatan nonton. Mudik lebaran ke Solo kemarin, bolak-balik ke Grand 21 tidak dapat tiket. Saat main ke Djogja, demikian juga. Di Ambarukma Mall, juga full. Di Metmal 21 Bekasi dan di Lippo 21 Cikarang, sama saja, antri karcis mengular, itupun untuk nonton bukan di jam saat antri itu. Akhirnya, berkesempatan nonton di Ciwalk XXI, Bandung, meski mendapatkan kursi deretan kedua dari depan layar.

Seperti orang lain, saya pun menitikkan air mata sejak film diputar. Gila bener tuh si Riri Riza dan Mira Lesmana, bikin film bagus banget begitu. Masih pengin lihat lagi. Entah kapan. Masih terngiang-ngiang nasehat pak Harfan : “Hiduplah untuk memberi yang sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima yang sebanyak-banyaknya” kira-kira begitu isi nasehatnya. Adegan-adegan lucu mengingatkan masa kecil, seperti ketika Mahar menjemur battery. Ah.. itu seperti yang dilakukan oleh mbah Kakungku, ketika radio Phillipsnya mulai bunyi “soak”. Atau ketika si Ikal jatuh cinta sama A Ling. Eh, untuk tokoh Ikal ini ada sedikit kritik buat Riri Riza. Ikal kecil punya tahi lalat di bawah mata kiri, tapi begitu dewasa (diperankan oleh Lukman Sardi) kok tahi lalatnya hilang. Dioperasi kali ya…he..he..

Tidak tanggung-tanggung, presiden kita pun menyaksikan film tersebut, juga terharu katanya. Kita tunggu, ada perubahan kebijakan atau tidak terhadap pendidikan nasional kita. Mudah-mudahan saja.

Saya ingat, kira-kira dua tahun lalu saya menyaksikan film Denias, anak pedalaman Papua yang ingin menikmati pendidikan yang “layak”. Ini juga film yang bagus, tapi rasanya belum menyentuh hati para pembuat kebijakan di bidang pendidikan. Sampai saat ini masih kita rasakan biaya sekolah masih mahal, gedung-gedung sekolah negeri hampir roboh (kalau saya tidak salah ingat, terakhir pemerintah membangun gedung-gedung SD masih rezim orde baru dengan Program SD Inpres-nya) dan wajib belajar 9 tahun terabaikan.

Kembali ke film Laskar Pelangi. Baik buku maupun filmnya, rasanya masih menyihir saya. Nyatanya, sekarang ini saya mengulang membaca buku Laskar Pelangi untuk kali ketiga (buku Sang Pemimpi dan Edensor, baru sekali saya baca), ring tone ponsel saya pun terinstall lagu “Seroja” yang dinyanyikan oleh Veris “Mahar” Yamarno. Sungguh mendayu-dayu, indahnya jatuh cinta.

Pelangi di Atas Gelagahwangi

Buku Pelangi di Atas Gelagahwangi (PAG) ini saya dapatkan ketika main ke Gramedia Solo Square. Pengarangnya S. Tidjab. Siapa sih yang tidak kenal nama ini. Dulu di era 80an namanya berkibar seluruh nusantara, melalui karya sandiwara radio yang spektakuler seperti “Tutur Tinular” dan “Mahkota Mayangkara” yang mengudara di radio-radio Indonesia.

Kaget juga, ketika lihat sampul bukunya. Kok S. Tidjab membuat novel, soalnya setahu saya dia piawai banget bikin naskah drama radio. Ternyata, PAG ini sebelumnya pernah mengudara sebagai sandiwara radio di tahun 2007. Saya tidak tahu ada sandiwara radio PAG, maklum jarang mendengarkan radio selain i-Radio, Trijaya atau Elshinta, di mana ketiga radio ini tidak ada program sandiwara radionya. Itu pun saya nikmati ketika berangkat dan pulang kantor. Jadi, buku PAG ini versi novelnya. read more