Berhala Ponsel

Pengguna ponsel tidak mengenal lagi status sosial seseorang. Siapun sekarang ini menggunakan ponsel. Bayangkan, dengan harga 200 ribuan, orang bisa memiliki ponsel.

Ponsel memang barang ajaib. Selain untuk berkomunikasi secara telewicara bisa digunakan untuk mengirim data, berselancar di dunia maya atau untuk menyimpan lagu-lagu yang jumlahnya ratusan. Sepertinya, kita tidak dapat “hidup” tanpa ada ponsel di tangan kita. Benarkah?

Saya sedang belajar tidak tergantung kepada ponsel, karena benda ini telah menjadi “berhala” bagi kehidupan saya.

Ketika terdengar ringtone telepon atawa SMS masuk, dalam hitungan detik saya mengangkat ponsel saya. Ingin segera tahu, saya mendapatkan telepon atawa SMS dari siapa, jangan sampai mengecewakan orang yang menelpon saya. Bahkan saat saya sedang beraktivitas lain, saya sempatkan segera mengangkat ponsel atawa membalas SMS tadi. Tetapi, azan terdengar memanggil saya untuk segera melaksanakan shalat, gendang telinga saya tidak bergetar. Bahkan, sejam setelah azan selesai saya baru ambil wudlu. Gusti Allah saya cuekin.

Barangkali, dengan mata terpejam saya bisa menulis SMS karena jempol saya sudah hapal letak tombol huruf di atas keypad ponsel saya, letak fitur-fiturnya pun dengan mudah saya temukan di dalam menu ponsel. Tetapi, jari-jemari saya akan menjadi kaku ketika akan menuliskan huruf hijaiyah, apalagi menuliskan ayat-ayat Qur’an atawa ketika membuka Qur’an saya akan kebingungan karena tidak paham dan hapal menu-menu Qur’an.

Di saat saya bekerja, untuk menghibur diri saya putar lagu-lagu koleksi saya yang ada di ponsel menggunakan media player. Lagu-lagu selalu saya up date. Ear-phone terpasang di telinga kiri-kanan, kepala jadi bergoyang, bibir mengikuti syair lagu. Saya hapal lagu-lagu koleksi saya. Tetapi, saya tidak pernah menghibur diri dengan shalat-shalat sunat. Dalam shalat wajib saya hanya bisa membaca surat pendek seperti qulhu dan annas. Jangankan hapal ayat-ayat dalam surat panjang, surat dalam juz amma pun tidak ada yang saya hapal kecuali qulhu dan annas tadi.

Ketika mempunyai waktu luang, ponsel tidak lepas dari tangan. Untuk membunuh kebosanan saya telpon atawa sms-an dengan teman saya. Pulsa 100 ribu habis tidak saya sesali, dan saya tidak merasa terbebani. Tetapi, ketika kotak infaq hari Jumat lewat di depan saya, mau memasukkan uang 1000 saja, beratnya minta ampun.

Oh ya, hal yang paling menakutkan ketika menjawab telepon adalah ketika ada debt collector menagih hutang-hutang saya di bank, entah itu berupa pinjaman tanpa agunan atawa credit card. Mematikan ponsel bukan perkara sepele, debt collector bisa tersinggung. Saya bisa dikejar sampai ujung dunia untuk segera melunasi hutang-hutang saya. Tetapi, ketika mendengar ceramah seorang ustadz yang mengingatkan saya akan azab Gusti Allah hati saya telah membatu, dan saya akan mendengar bisikan setan supaya menunda taubat karena esok masih ada waktu.

Kini, saya sedang belajar menggunakan ponsel saya secara bijaksana dan meningkatkan nilai ibadah saya di hadapan Gusti Allah. Hidup saya mulai jadi tenang, pulsa bulanan saya pun semakin irit saja. Mau mau ikutan saya? Konsekuensinya cuma satu: kita akan “dimusuhi” oleh operator seluler langganan kita.