Zaman Emas

Minggu kemarin Mas Suryat sowan ke rumah Mbah Mantri dalam perjalanan dinas ke Yogyakarta. Rumah Mbah Mantri ada di daerah Mlati Sleman. Persahabatan mereka dimulai ketika Mas Suryat jadi aktivis mahasiswa pertengahan tahun 90 dikejar-kejar intel gara-gara mengadakan diskusi gelap. Mas Suryat dan teman-temannya bersembunyi di rumah Mbah Mantri.

Bukan tanpa alasan Mas Suryat berkunjung ke rumah Mbah Mantri, selain kangen ia juga ingin selalu menjaga silaturahim kepada orang yang lebih sepuh, apalagi ia mendengar kalau Mbah Mantri mulai sakit-sakitan. Oleh-oleh yang dibawanya, tentu saja, kue kesukaan Mbah Mantri yakni biskuit Khong Guan kaleng besar yang berwarna merah menyala.

“Sehat Mbah?”

“Alhamdulillah, Mas. Kadingaren bukan hari libur panjang sampeyan dolan ke sini!”

Lalu mereka saling mengabarkan kesehatan masing-masing, lalu ngobrol ngalor-ngidul. Mbah Mantri putri ikut nimbrung sebentar setelah menyajikan kopi pahit kesukaan Mas Suryat, dan teh ginastel di cangkir-kaleng blirik untuk suaminya.

Kok tesih klepas-klepus to Mbah? Sakniki udude kok benten?”

Mas Suryat mengomentari hobi mengisap kretek Mbah Mantri yang masih berlangsung hingga kini, biasanya ngisep gudang garam merah, kok sekarang ganti gudang garam filter.

Udud filter luwih enteng Mas.”

Asap rokok membubung tinggi.

“Mbah, nasib Indonesia ke depan ini pripun nggih? Eh, tapi ngomong-ngomong panjenengan nanti nyoblos sinten, Mbah? Nomer setunggal napa kalih?”

Mbah Mantri tersenyum lucu, wong semua giginya sudah tanggal. Ia bingung mau menjawab yang mana dulu terhadap pertanyaan yang diajukan Mas Suryat kepadanya.

Akeh wong adol ngelmu, akeh wong ngaku-aku. Njabane putih njerone dhadhu, ngakune suci sucine palsu. Akeh bujuk akeh lajuk.1

Jidat Mas Suryat berkerut, fikirannya mencerna ke mana arah bicara orang tua berpeci hitam itu.

Wektu iki akeh dandang diunekase kuntul. Wong salah dianggep bener. Durjana sangsaya sempurna. Sing mulya dikunjara. Sing curang garang, sing jujur kojur. Wong dagang keplangkang. Wong judhi ndadi, akeh barang haram.2

Hmm, rupanya Mbah Mantri mengutip Serat Jangka Jayabaya baris 154-156.

“Pesan saya jangan salah milih presiden di coblosan nanti. Sampeyan ndak mau to, ramalan Jayabaya bersambung lima tahun lagi. Yen sampeyan bener milihe, zaman emas ora mokal wis neng ngarep mata.3

Mbah Mantri melanjutkan mengutip Serat Jangka Jayabaya, kali ini langsung ke baris 173.

Nglurug tanpa bala, yen menang tanpa ngasorake liyan. Para kawula padha suka-suka, merga adiling Pangeran wus teka. Rajane nyembah kawula, angagem Trisula Weda. Para pandhita hiya padha muja. Hiya iki momongane Ki Sabdapalon, sing wus nanggung wirang. Nanging kondhang genah kacetha njingglang. Ora ana sing ngresula kurang. Hiya iku tandhane kala bendu wus minger, genti wektu jejering kala mukti. Andayani indering jagad raya padha asung basuki.4

Mbah Mantri memberikan salam dua jari. Mas Suryat paham dengan isyarat itu.

Terjemahan bebas:
1Banyak orang menjual ilmu, banyak orang memalsu identitas. Di luarnya putih di dalam kelam, seolah berniat baik tetapi menjerumuskan. Banyak penghasut dan banyak penipu.
2Saat ini banyak dandang dibunyikan bangau = niat baik dituduh dan dicurigai punya niat busuk. Orang salah dianggap benar. Kejahatan semakin sempurna. Orang berjiwa mulia disingkirkan/dipenjara. Kecurangan makin merajalela, yang jujur celaka. Kegiatan usaha terpuruk. Perjudian merajalela, banyak barang haram.
3Kalau kamu benar memilihnya, zaman emas tidak mustahil sudah di depan mata.
4Menyerang tanpa pasukan, kalau menang tidak merendahkan yang kalah. Rakyat bersuka ria, karena keadilan Tuhan telah datang. Raja mengabdi kepada rakyat, dengan senjata demokrasi. Para pemuka agama menghormatinya. Dialah asuhan Ki Sabdopalon yang sudah menanggung malu. Tetapi kebaikannya sangat jelas terbukti. Tidak ada lagi rakyat mengeluh kekurangan. Itulah tanda zaman sengsara dan angkaramurka telah berakhir, digantikan zaman keemasan. Mendapatkan pengakuan dunia dengan menunjukkan rasa hormat.