Lakon ini sebagai kelanjutkan dari Debat Dua Pangeran.
Semua mata mengarah ke pintu masuk balairung. Dengan langkah-langkah kaki yang sangat mantap, Resi Drona memasuki arena debat. Suasana demikian hening, bahkan ketika seekor lalat terbang kepakan sayapnya terdengar oleh sebagian orang.
“Wahai guru Drona, kenapa engkau menghentikan acara ini dan engkau malah menyebutnya acara yang tidak bermutu?” Resi Bhisma membuka percakapan.
“Apakah kalian semua sudah lupa, bukankah Negeri Hastinapura ini telah mempunyai GBHN yang disusun oleh para pendiri negeri ini?” kata Drona beretorika.
“Maaf guru Drona, apa itu GBHN?” tanya Patih Sengkuni lugu.
“Garis-garis Besar Haluan Negara, Patih Sengkuni!” jawab Drona dengan muka masam.
“Ampun guru Drona, maklum saja kalau saya ndak paham dengan semua singkatan,” kata Sengkuni sambil menangkupkan kedua telapak tangan di dadanya.
“Patih Sengkuni dan semua yang hadir di sini. Sungguh terlalu kalau GBHN saja tidak tahu. GBHN disusun untuk jangka waktu 25 tahun. Ke mana arah pembangunan Hastinapura sudah direncanakan jauh-jauh hari. Tak hanya pembangunan fisik saja, tetapi juga pembangunan manusianya,” papar Resi Drona.
Resi Bhisma sebagai sesepuh Hastinapura merasa tertohok, sebab ia juga mulai melupakan GBHN Hastinapura.
“Jadi, paparan visi-misi dua pangeran itu tidak perlu. Semua sudah tertulis di GBHN. Nanti siapa yang bakal duduk di tahta Hastinapura tinggal menjalankan GBHN. Dan itu sifatnya berkesinambungan,” tutur Drona mantap.
“Lalu, apakah guru Drona mempunyai usulan lain bagaimana menentukan siapa di antara Duryodana dan Yudhistira yang akan mewarisi tahtaku?” ujar Prabu Destarasta dengan nada bergetar saking marahnya.
“Seorang raja Hastinapura harus tangguh fisiknya. Aku adalah guru para pangeran Kurawa dan Pandawa. Setiap hari aku gembleng mereka dengan ilmu pengetahuan dan latihan olah kanuragan, maka …,” kata Drona berapi-api, bahkan ia lupa telah beraku-aku di hadapan raja.
“Cukup guru Drona! Cepat katakan apa maumu sekarang?” Prabu Destarasta semakin gusar, namun ia tak sadar tak mungkin dapat memaksa Drona.
“Ampun gusti Prabu, kini saatnya saya meminta balas budi terhadap murid-murid saya,” kata Drona dengan mata nyalang.
Para pejabat Hastinapura saling pandang. Hati Duryodana bergolak dan bertanya-tanya balas budi macam apa yang akan diminta oleh Drona. Yudhistira pun demikian, menunggu kata-kata Drona selanjutnya.
Resi Drona berjalan mengelilingi arena debat. Ia mengatur nafasnya. Kemudian ia berhenti di hadapan Resi Bhisma.
“Saya mempunyai dendam kesumat kepada Drupada, Raja Pancala. Beberapa belas tahun lalu ia pernah menghina saya. Menistakan keberadaan saya sebagai seorang brahmana. Kata-kata hinaannya masih saya simpan di hati saya. Kalian mau tahu apa kata raja Drupada saat itu?” Drona berkata dengan kemarahan memuncak.
Suasana balairung semakin hening. Drona terkenang pertemuannya dengan Drupada.
“O, brahmana yang malang. Apakah kamu ini gila apa lupa ingatan? Apa mungkin seorang raja bersahabat dengan pengemis gembel sepertimu? Raja adalah kedudukan sangat terhormat, sedangkan pengemis hina dina. Lagi pula, mana ada seorang brahmana yang gila harta dan kekuasaan, dengan meminta jatah separoh kerajaanku. Begini saja, sebelum aku murka cepatlah angkat kaki dari istanaku daripada para prajuritku menyeretmu ke penjara!” kata Drupada dengan muka yang sinis, tidak suka dengan kehadiran Drona.
Resi Drona mendekati Duryodana dan Yudhistira, lalu memegang kedua pundak muridnya itu.
“Balaskan dendam gurumu, wahai murid-muridku. Seret Drupada ke hadapanku! Siapa di antara kalian yang dapat membawa Drupada ke hadapanku, ia yang pantas menjadi raja Hastinapura!” titah Drona.
“Siap guru!” jawab Duryodana dan Yudhistira hampir bersamaan.
Acara debat dua pangeran gagal dilaksanakan. Mereka membubarkan diri. Masing-masing kubu mempersiapkan strategi bagaimana cara mengalahkan raja Drupada yang terkenal sangat tangguh itu.