Bukan tanpa sebab pada artikel Arus Mudik kemarin saya menceritakan: “Sebelum masuk Alas Roban, kami ngisi perut dulu di Soto Sedaap, sebuah warung soto di Jl. Pemuda Kendal.” Pengunjung warung soto tersebut akan dihibur oleh empat orang pemusik keroncong yang memainkan alat musik mereka secara akustik selama menikmati soto atawa tengkleng yang disajikan. Pengunjung dapat memberikan uang seikhlasnya pada sebuah wadah plastik yang ditaruh di sebuah kursi tak jauh dari arena permainan mereka.
Mumpung ada keroncong yang nyamleng seperti itu, maka saya pun merekues sebuah lagu Pak Gesang yang berjudul Caping Gunung. Wow, mereka menyanyikan Caping Gunung dengan versi langgam keroncong yang yahud.
Semua ada rangkaiannya. Ya, saya akan menceritakan perihal caping. Kosa kata caping (topi khas petani yang dibuat dengan anyaman bambu) pada minggu kemarin dilontarkan oleh Kika. Sebagai mahasiswa baru UGM ia mendapatkan tugas membawa sebuah caping untuk kegiatan PPSMB bulan depan.
Filosofi penggunaan caping adalah sebagai bentuk penghormatan kepada petani Indonesia dan para pengrajin yang hampir punah usahanya dikarenakan sedikitnya orang yang membeli dan mengerti akan betapa berharganya menjadi seorang petani. Namun yang diharapkan oleh UGM akan Gadjah Mada Muda yang masuk ke UGM mampu memberikan kontribusinya bagi para pengrajin caping di daerah sekitarnya di mana kalian berada dan keberadaan kalian yang memberi dampak positif kepada pengrajin serta membawa nama baik UGM yang telah menghargai kerja mereka dengan membeli hasil usaha mereka. [Palapa PPSMB UGM]
Maka, pas mudik lebaran kemarin kami membeli caping di Pasar Gede Solo. Kenapa nggak di Karawang saja, bukankah Karawang itu Kota Lumbung Padi pasti tak sulit mendapatkan caping? Alasannya, mumpung lagi di Solo saja. Ketika mendapatkan caping di Pasar Gede saya cuma membatin kok caping yang dijual tidak seelok caping yang saya kenal di masa kecil dulu.
Dahulu, desa saya dikenal sebagai sentra produksi caping kualitas bagus. Caping yang dihasilkan adalah caping dengan anyaman super-halus sebab pada lapisan terluar caping menggunakan kulit bambu yang mengkilat. Adalah mBah Wongso yang dikenal sebagai pionir pengrajin caping di desa saya. Konon mBah Wongso berasal dari Magetan – yang memang terkenal dengan pengrajin caping, datang ke desa saya dan menularkan keprigelannya dalam membuat caping. Karena ia ahli membikin caping, oleh orang-orang dipanggil dengan Wongso Buyuk. Orang Jawa menyebut caping dengan buyuk. Tragisnya, setelah mBah Wongso meninggal tak ada lagi yang menguri-uri warisan pembuatan caping di desa saya.
Nah, mumpung ada caping, saya pun bergaya seperti seorang petani yang sedang berkebun.