Warsito yang Bersahaja itu …

Rubrik Tamu Kita Majalah UMMI No. 10/XIX Pebruari 2008, dengan judul DR. Warsito Peneliti Kelas Dunia yang Pantang Menyerah, membuat saya terhenyak ketika membaca sampai di paragraf : untuk teknologi yang disebut-sebut banyak kalangan sepantasnya mendapat Hadiah Nobel ini, Warsito menghabiskan waktu bertahun-tahun dimulai sejak lelaki kelahiran Karanganyar, 15 Mei 1967 ini, menjalani studi S1 Teknik Kimia  awal 90-an di Universitas Shizuoka, Jepang. Warsito, Karanganyar dan Jepang, ketiga kata inilah yang “menyetrum” fikiran saya. Saya merasa kenal dekat dekat nama tersebut : Warsito, ya..hanya Warsito saja. Ketika SMA saya mempunyai teman namanya Warsito, anak desa yang sangat bersahaja (rumahnya di lereng G. Lawu, cukup jauh dari sekolah) tetapi mempunyai otak professor. Kami, teman sekelasnya biasa menyebut dia “professor” selain professor satunya lagi. Namanya Mujiyono, sekarang jadi dokter yang mumpuni.

Saya melanjutkan membaca artikel tersebut sampai habis, dan semakin yakin dia ini Warsito teman sekelas di IPA 3 dulu. Di sana ditulis, masa kecilnya penuh dengan keprihatinan sampai-sampai mengembala kambing sambil membaca dan belajar. Saya sangat percaya dengan kisah tersebut.

Di foto-foto yang ada di majalah UMMI, Warsito yang sekarang berumur 41 tahun, tampil keren dan smart beda dengan sosok lugu Warsito di 21 tahun lalu. Saya tidak mengira sama sekali, bertemu dia meskipun lewat tulisan di majalah UMMI. Tidak bosan-bosannya saya pandangi foto dia bersama anak istrinya, yang kebetulan jadi cover majalah UMMI. Asli, saya semakin bangga dengan Warsito. Saya ceritakan siapa Warsito ini kepada anak-anak saya.

Hebat benar Warsito ini, sudah bergelar doktor, namanya begitu tersohor di manca negara karena penemuannya yang menggemparkan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Selesai membaca penemuannya, saya melakukan browsing di internet dan benar, sebuah penemuan terbaru yang amat berguna bagi umat manusia.

Kenangan saya kembali ke tahun 1983 – 1986! Oh ya, jurusan saya waktu itu IPA, dimulai sejak klas 1 semester 2 (masuk ke IPA 3). Sampai dengan klas 3 teman sekelas saya tidak berubah, termasuk Warsito di dalamnya. Ketika kami di klas 1 sampai klas 2, IPA 3 terkenal paling “nakal”. Guru-guru sampai “tobat” mengajar di klas IPA 3. Satu hal yang kompak kami lakukan, tetapi para guru tidak berkenan dengan perbuatan kami yaitu kami sangat hobby main bola tetapi main dengan taruhan. Seminggu bisa main bola 3 kali. Dan sering kalahnya (?) Apa hubungan cerita kenakalan murid klas IPA 3 dengan Warsito? Dia sungguh anak yang santun, tidak pernah ikut-ikutan kepada kenakalan teman-temannya. Dalam bergaul pun dia sangat supel, suka mengajari kami mengerjakan PR matematika, fisika dan kimia.

Kenakalan kami hilang ketika masuk klas 3. Wali kelas kami, Pak Rahsananto (Alm) menasihati kami agar lebih giat belajar sebagai bekal masuk kuliah nanti. Beliau berpesan untuk menghentikan hobby main bola. Dan kami menuruti perintah beliau. Aneh bin ajaib, kami menjadi anak-anak yang manis (rupanya keinginan main bola ini kambuh kembali ketika saya dan teman-teman mengadakan reuni IPA 3, nanti akan saya ceritakan tersendiri). Masing-masing membentuk kelompok belajar. Para “professor” kami jadi pembimbing dan tempat bertanya semua soal pelajaran. Kelompok belajar saya ada 5 anak, yaitu saya, Didied, Siwi, Tarto, dan Teguh. Setiap pulang sekolah, belajar kelompok. Setiap hari!!! Tempat belajar bergilir, dan ibu-ibu kami selalu menyiapkan makanan kecil. Kumpulan soal-soal masuk perguruan tinggi negeri (PTN), mulai Proyek Perintis 1, Skalu dan Sipenmaru 1985 kami kuasai dan hapalkan.

Teman-teman di kelompok belajar lain pun demikian. Semua jadi anak manis. Nanti, ketika tes masuk PTN anak 3 IPA 3 dari 45 anak, 42 anak lolos Sipenmaru PTN termasuk Warsito, diterima di Teknik Kimia UGM. 3 anak lainnya, memilih berkarir setelah lulus SMA.

Suatu ketika, di hari Sabtu kami diajak Warsito untuk menginap di rumahnya. Pulang sekolah kami (sepuluh anak, barangkali ada) ke rumah Warsito. Dari sekolah, naik colt (semacam angkot) sampai ke kota kecamatan Matesih. Dari kota kecamatan ke desa tempat tinggal Warsito, harus jalan kaki. Lumayan jauh. Sebenarnya dari kota kecamatan ke desa ada kendaraan, tetapi hari itu bukan hari pasaran (lima hari sekali, ada pasar hidup), maka terpaksa harus jalan kaki. Dan kami pun seperti napak tilas perjalanan Warsito, membayangkan beratnya perjalanan Warsito ke sekolah setiap hari pulang dan pergi.

Rumah Warsito sangat sederhana, orang tuanya begitu ramah menyambut kedatangan kami. Dia memperkenalkan para kambingnya kepada kami sambil memberi makan. Sore hari, kami diajak Warsito ke kamar mandinya di belakang rumah…. oh..ternyata lumayan jauh, melewati jalan setapak di tengah kebun. Kamar mandi itu adalah sungai! Tak habis-habisnya kami kagumi teman yang pintar ini. Fasilitas terbatas, tapi kok punya otak encer. Sampai rumah, nasi lengkap dengan sayur dan lauk yang masih panas sudah tersaji di atas balai-balai. Saya tidur nyenyak di rumah Warsito, udara pegunungan membuat semalaman tidak melepas selimut.

Pengalaman menginap semalam di rumah Warsito telah menginspirasi kami. Rajin belajar menjadi menu utama kegiatan kami sehari-hari. Saya masih berkomunikasi dengan Warsito sampai pertengahan tahun 1987, karena masih suka ketemu di kampus UGM. Dia juga memberitahu saya ketika dia akan ke Jepang, meninggalkan Teknik Kimia UGM. Saya pernah sekali mendapatkan surat balasannya dari Jepang, tapi surat kedua saya tidak dibalasnya, pasti karena dia sibuk sekali saat itu. Maka, putuslah komunikasi saya dengannya.

___________

Lebih jauh untuk melihat penemuan DR. Warsito yang menghebohkan dunia itu, bisa dilihat di sini. Atau lihat profil DR. Warsito, klik di sini