Umar bin Khattab dan anaknya

Khalifah Umar bin Khattab heran melihat sikap anaknya yang sedang bersedih di muka rumahnya.

“Apa yang membuat gundah hatimu?”

“Aku ingin menyembunyikan gundahku ini ayah.”

Umar bin Khatab tetap mendesak agar anaknya bicara.

“Baiklah, kalau ayah mendesak. Teman-temanku mengolok-olok karena aku mengenakan pakaian lusuh dan banyak tambalan seperti ini, sementara ayah seorang pemimpin negara.”

Khalifah Umar bin Khattab tertegun mendengar ucapan anaknya, dan ia pun segera menulis surat kepada bendahara negara untuk mengajukan kasbon dua bulan gajinya. Tak lama ia mendapatkan surat jawaban dari bendahara.

“Wahai amirul mukminin, mudah bagiku untuk mengeluarkan uang dua bulan gajimu, tetapi siapa yang berani menjamin kalau esok hari atau dua bulan ke depan engkau masih hidup? Tak seorang pun tahu kapan ajal kita dijemput.”

Khalifah Umar bin Khattab tersentak dan membenarkan kata sang bendahara.

~oOo~

Ini Umar yang lain.

Suatu malam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz sedang berada di ruang kerjanya. Putrinya ingin bertemu, lalu diketuklah pintu ruang kerja ayahnya.

“Siapa di luar?”

“Aku, putrimu. Ingin bicara dengan ayah.”

“Masalah negara atau keluarga?”

“Keluarga, ayah.”

Putri Umar pun masuk ruang kerja dan didapatinya ruangan itu gelap gulita.

“Kenapa ayah mematikan lenteranya?”

“Tahukah kau anakku. Saat ini kita akan bicara masalah keluarga. Aku tidak mau menggunakan fasilitas negara.”

“Maksud ayah?”

“Lentera ini milik negara, anakku.”