Uang lelaki

Istilah “uang lelaki” menjadi kosakata yang jamak diperbincangkan di kalangan kaum pekerja lelaki yang telah beristri. Uang lelaki bisa berarti penghasilan sampingan yang tak harus diketahui istri, sebab uang lelaki tersebut biasanya didapat seorang suami di luar penghasilan rutin bulanan yang nilainya tercantum dalam sebuah catatan yang sering disebut sebagai slip gaji.

Tak bisa dipungkiri, para suami biasanya membutuhkan uang lelaki untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, entah itu untuk kesenangan pribadi seperti untuk sekedar membeli rokok atau untuk menjaga harga dirinya pada jaringan pertemanannya atau lingkungan tempatnya bekerja, misalnya sesekali menraktir teman untuk membina jaringan tersebut.

***

Pada suatu siang selepas shalat dzuhur saat mas Suryat memakai sepatu, ia dihampiri oleh Gino dan duduk di sampingnya, memulai percakapan.

“Pak, apa benar kalau uang makan dan uang transport akan disatukan dengan gaji bulanan?”

Maksud-e piye, No?”

“Selama ini kan, terpisah pak. Uang makan dan uang transport dibayarkan setiap dua minggu. Kalau disatukan dengan gaji kan bisa berabe urusannya?”

Mas Suryat sudah bisa menangkap kegelisahan Gino. Ia ingat betul, dulu sekali uang transport dan uang makan karyawan (sebut saja sebagai UT/UM ya) dibayar secara cash setiap awal minggu. UT/UM tersebut oleh sebagian besar (atau mungkin oleh semua) karyawan dianggap sebagai uang lelaki. Lumayan sih jumlahnya.

Dan setahu Mas Suryat, tidak semua karyawan berterus-terang kepada istrinya kalau kantor memberikan UT/UM. Gino termasuk di antaranya. Gino pernah bercerita, uang lelaki tersebut kadang ia sembunyikan di selipan kaos kaki hanya untuk supaya tidak ketahuan istrinya.

Syahdan, kebijakan cashless mulai diterapkan oleh kantor. UT/UM pun harus ditransfer ke rekening masing-masing karyawan. Tentu saja, kebijakan tersebut membuat ketidaknyamanan bagi karyawan yang ATM-nya dipegang oleh istri. Bisa-bisa uang lelaki menjelma menjadi uang istri. Hmm, pihak kantor pun secara bijak memperbolehkan karyawan untuk membuka rekening baru khusus untuk menampung UT/UM tersebut.

“Iya, No. Rencananya memang mau disatukan dengan gaji bulanan karena terkait dengan kebijakan perpajakan yang baru, yang disebut dengan Pajak Natura.”

“Apa itu pak?”

“Singkatnya, Pajak Natura adalah pajak yang dikenakan terhadap fasilitas atau tunjangan selain uang yang diberikan pemberi kerja kepada karyawannya. Sebelumnya fasilitas selain uang yang diberikan pemberi kerja kepada karyawannya tidak termasuk objek pajak sehingga tidak dapat dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Pajak.”

“Saya nggak mudeng pak.”

“Tunggu saja, minggu depan HRD akan memberikan sosialisasi aturan baru tersebut. Nanti kamu bisa tanya lebih detil.”

Gino bergumam dan hanya ia saja yang paham apa yang ia gerutukan. Gino mungkin masih belum ketemu cara untuk mendapatkan kembali UT/UM sebagai uang lelaki yang bertahun-tahun telah menyelamatkan harga dirinya sebagai seorang suami dan seorang ayah.

Bukankah ketika pulang kantor dengan membawa oleh-oleh martabak yang dibeli dari uang lelaki adalah sebuah bentuk kasih sayang seorang lelaki bagi keluarganya?