Pesawat MH yang saya tumpangi mendarat dengan mulus di Bandara Madinah, saya segera menyalakan HP. Dari sekian banyak pesan yang masuk, sebagian besar mengabarkan ke saya kalau ustadz Ama mengalami kecelakaan dan meninggal dunia di tempat.
Saya dhêlêg-dhêlêg di dalam bus yang akan membawa rombongan umroh menuju hotel yang tak jauh dari Masjid Nabawi. Ia yang berusia dua belas tahun lebih muda daripada saya, telah berangkat duluan meninggalkan alam dunia ini.
***
Pada suatu pagi beberapa tahun yang lalu, di sebuah bank saya bertemu dengan ustadz Ama yang sama-sama sedang menunggu antrian di depan teller. Ustadz Ama bercerita kalau sedang merintis pendirian TPA di lingkungan rumahnya. Saat itu ia akan menarik uang dari gaji bulanannya untuk membeli peralatan yang akan digunakan untuk mendukung kegiatan TPA tersebut.
Ketika saya tanyakan apakah sudah punya akta Yayasan yang nantinya mengelola TPA tersebut, ia menjawab sudah membikinnya bahkan perizinan TPA sedang dalam proses. Dari obrolan singkat, saya menyarankan supaya mempunyai rekening atas nama Yayasan dan saya akan bantu mencarikan donator untuk operasional TPA.
Dan akhirnya memang saban bulan saya bisa mentransfer sejumlah dana untuk membantu operasional TPA yang sudah mulai mengadakan kegiatan rutin. Muridnya cukup banyak, dari lingkungan sekitar rumah ustadz Ama.
Secara berkala, ia memberikan laporan kemajuan TPA-nya. Dan saya sungguh terkejut ia mampu membeli tanah di sekitarnya untuk memperluas bangunan TPA dan aula untuk pengajian anak-anak di sore hari. Dalam laporan yang lain, ia membangun musholla, membeli peralatan hadroh, pengecatan ruang dan informasi yang mengejutkan adalah ia sedang mengajukan perizinan pendirian MI.
***
Pertengahan bulan Agustus lalu, saya ingin berbagi kebahagiaan dengannya. Kami bertemu. Saya meminta bantuan ustadz Ama mencarikan brosur keberangkatan umroh di awal bulan Oktober 23 di Biro Travel Umroh di sekitar rumahnya.
Dua hari kemudian kami bertemu lagi, dan ia membawa brosur tersebut yang katanya pengurus Biro Travel Umroh tersebut ia kenal baik karena teman pengajiannya. Ia juga meminta dokumen-dokumen saya agar bisa segera diproses oleh temannya itu.
“Bukan saya yang akan umroh, tapi saya akan memberangkatkan ustadz ke Tanah Suci. Makanya saya minta cari biro yang dekat dengan rumah ustadz,” jawab saya datar.
Hening beberapa saat. Ustadz menatap saya cukup lama dan bertanya apakah kalimat yang ia dengar dari mulut saya benar adanya. Ia mengulang bertanya sampai tiga kali dan saya menjawab dengan tegas. Ia pun melakukan sujud syukur, air matanya mengalir sebagai tanda sangat berbahagia. Kami berpelukan.
Ia minta diri untuk berpamitan karena buru-buru ingin mengabarkan kebahagiaan tersebut kepada keluarganya.
***
Arkian, semua itu atas izin Gusti Allah. Urusan pembuatan paspor, pelaksanaan manasik hingga menjelang keberangkatan hingga ibadah di Tanah Suci berjalan dengan lancar. Waktu satu setengah bulan benar-benar dimanfaatkan ustadz untuk persiapan lahir dan batin. Ia rajin berolah raga untuk melatih kaki saat nanti melakukan tawaf dan sai, atau berjalan kaki dari hotel menuju Masjid Nabawi dan Masjidil Haram.
Ketika di Tanah Suci, saban hari ia mengabarkan kegiatannya kepada saya via WA. Sembilan hari di sana berasa sangat singkat katanya.
***
Di awal Desember lalu saya mengabari ustadz Ama kalau saya mau berangkat umroh, dan setelah itu secara intensif kami saling berkomunikasi. Ia juga nitip doa, spesifik menyebut untuk keberkahan sekolah Islam yang ia dirikan.
Setelah shalat subuh hari pertama saya di Masjid Nabawi, saya shalat gaib untuk ustadz Ama. Anjeunna jalma bageur, Tadz!