Turi Putih

Dalam hajat ngantenan di Karanganyar kemarin, tak ada iringan gending Jawa ketika acara temu-pengantin, seperti pada umumnya pengantin menggunakan adat Jawa. Musik pengiringnya adalah campursari-shalawatan. Bukan dengan cara memutar kaset atawa kepingan CD, tetapi musiknya disajikan secara live.

Dua sindennya berhijab, duduk manis di kursi yang telah disediakan untuk mereka. Awak band campursarinya terdiri dari mas-mas berpeci. Namanya juga campursari-shalawatan, lagu-lagu yang disajikan untuk para tetamu yang datang adalah aneka jenis shalawat plus lagu religi yang sudah familiar terdengar di telinga kita.

Kedua pengantin sudah berada di dampar-kencana, wakil keluarga berpidato atur pambagya, mengucapkan selamat datang kepada para tetamu yang telah berkenan menghadiri waliwatul ‘ursy. Di atas panggung pengantin, tidak ada acara sungkeman. Mungkin acara sungkeman tersebut sudah dilakukan saat ijab-qabul pada pagi harinya. Pembawa acara mengatakan bahwa salah satu tugas orang tua adalah mengantarkan anaknya hingga ke jenjang perkawinan. Maka untuk mengenang kasih sayang kedua orang tua, masih kata pembawa acara, band campursari-shalawatan akan mempersembahkan sebuah lagu yang berjudul Wiwit Aku Isih Bayi:

wiwit aku isih bayi, wong tuwo sing ngopeni
nganti tumeko saiki, lair batin gemati
mangkat sekolah disangoni, sandhang pangan wis mesthi
mula aku kudu ngerti, mbangun turut ngajeni

keparengo amba matur dhateng bapak lan ibu
nyuwun berkah lan pangestu, amrih langgeng rahayu
atur panuwun mbo kekalih, inanthen sembah bekti
sageda nulad tresnanta, guyup rukun slaminya1

Lagu tersebut telah membuat dada saya bergolak, mengharu-biru. Syairnya sederhana, mengingatkan saya menyanyikan lagu tersebut di masa sekolah SD dulu. Suara mBak Sinden yang mendayu dengan feat salah satu awak band. Maaf, waktu itu mata saya agak-agak brebes mili.

Hening sejenak. Lagu selesai didendangkan. Kika yang duduk di sebelah saya bertanya, kok lagunya mirip-mirip dengan lagu Ibu Pertiwi (syairnya: kulihat Ibu Pertiwi, sedang bersusah hati…. dst). Saya jawab memang iya, hanya diganti syairnya saja. Itu pun dalam bahasa Jawa.

Kejutan berikutnya, saat Pak Ustadz memberikan ular-ular pengantin, nasihat perkawinan kepada kedua pengantin. Di tengah ceramahnya, Pak Ustadz berkolaborasi dengan band campurasari-shalawatan mendendangkan sebuah lagu yang berjudul Turi Turi Putih:

turi-turi putih, ditandur neng kebon agung 2x
celeret tiba nyemplung
gumlundhung kembange apa
mbok kira mbok kira mbok kira kembange apa
kembang kembang mlati kembang mlati dironce-ronce
sing kene setengah mati sing kana ora piye piye2

Rupanya Kika berusaha menyimak syair lagu, tetapi ora mudheng babar blas. “Lagu Turi Turi Putih ini konon diciptakan oleh Sunan Kalijaga,” ujar saya sebelum menjelaskan makna di balik syair lagu tersebut.

Catatan kaki:
1Terjemahan bebasnya: Sejak aku masih bayi orang tua yang mengasuhku hingga kini secara lahir dan batin. Berangkat sekolah dibekali, sandang-pangan itu pasti. Maka, aku harus tahu diri, mengabdi kepada mereka. Perkenankan kami menghaturkan salam hormat kepada bapak dan ibu, mohon doa restu semoga perkawinan kami langgeng dan rukun selamanya.
2Tembang ini menuturkan sebuah kesadaran tentang kematian yang niscaya akan dialami oleh setiap orang. Ketika mati akan dibungkus kain kafan warna putih lalu dikubur di pemakaman. Mayat dimasukkan ke liang lahat seperti kilat yang jatuh. Amal apa yang ia bawa? Bukan rangkaian bunga melati yang dibawa (biasanya dikalungkan di keranda), tapi amalnya ketika ia hidup.