Tulisan di Tempo, suatu ketika

Sebenarnya, ada belasan tulisan saya yang pernah dimuat di majalah TEMPO, semuanya di rubrik “Surat”. Dulu, ketika mahasiswa saya pernah jadi salah satu agen penjualan majalah TEMPO (sebelum dibreidel Orba) khusus untuk student rate. Karena setiap minggu rutin membaca majalah TEMPO menarik minat saya untuk membuat tulisan pendek mengkritisi keadaan yang terjadi di sekitar saya dan mengirimkannya ke redaksi majalah TEMPO, dan sering dimuat.

Tulisan-tulisan yang dimuat itu saya gunting dan saya kliping, menjadi satu dengan tulisan saya yang lain yang juga dimuat di media massa lainnya. Dulu sekali saya lumayan produktif menulis artikel-artikel ringan, yang saya lakoni sejak duduk di bangku SMA dulu.

Iseng-iseng saya sowan ke Kyai Gugel dengan mengetikkan nama lengkap saya. Tuing… saya mendapatkan beberapa tulisan saya yang pernah dimuat di majalah TEMPO pasca breidel. Ini dia!

Pelayanan Telkomsel Mengecewakan
SAYA, pelanggan Telkomsel nomor 0812800xxxx, pada hari yang istimewa ingin memanfaatkan fasilitas SMS Telkomsel. Namun, pelayanan Telkomsel sungguh mengecewakan hati saya. Saat Lebaran (16 dan 17 Desember 2001), posisi saya ada di kota Solo, Jawa Tengah. Saya ingin mengirim ucapan selamat hari raya kepada semua relasi via SMS. Sayang sekali, pesan-pesan saya gagal terkirim. Pertama-tama saya curiga terhadap handphone saya, tapi ternyata teman-teman mengeluhkan hal yang sama. Saya bertambah yakin ketika membaca artikel di salah satu rubrik koran lokal bahwa teryata banyak masyarakat Kota Solo dan sekitarnya mengeluhkan hal yang sama. Kekecewaan saya terulang ketika ingin memberikan kejutan ke teman-teman saya pada saat detik-detik pertama memasuki tahun 2002. Ternyata SMS saya baru terkirim 15 jam kemudian setelah pergantian tahun. (TEMPO, 14 Januari 2002)

Merindukan Suasana Orde Baru
SAYA lahir ketika rezim Orde Baru berumur 1 tahun. Praktis ketika saya mulai menghirup udara ini sampai dengan tumbangnya Presiden Soeharto tahun 1998, warna kehidupan yang saya rasakan adalah suasana zaman Orde Baru. Pada zaman itu, banyak sekolah Inpres yang didirikan lengkap dengan buku pe-lajaran (paket) cetakan Balai Pustaka yang pemakaiannya masih dapat diwariskan ke adik-adik saya. Pembangunan jalan dan jembatan terlihat di mana-mana. Petani dan nelayan diaktifkan dalam kegiatan Kelompencapir. Bahkan Indonesia pernah berswasembada beras, ibu-ibu di desa rajin mengadakan kegiatan PKK, dan para politisi bicara santun, tidak saling menjatuhkan teman, tidak ada perkelahian antarwarga negara dan umat beragama. Bukannya saya mengagungkan Orde Baru, tapi paling tidak keberhasilan pembangunan yang dicapai harus kita beri apresiasi. Kini zaman telah berubah. Semua orang berbuat sekehendak hati dengan dalih reformasi. Pergi ke luar rumah dengan perasaan waswas, belanja di pasar uang tak cukup untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Mengenai KKN pejabat kita, itu tak kalah hebat dan lihai dibandingkan dengan Orde Baru dulu. Lalu, apa bedanya? Saya bukan pejabat, hanya rakyat biasa yang ingin hidup tenang dan nyaman dengan perut kenyang. (TEMPO, 08 April 2002)

Harta Karun (1)
SUNGGUH ironis, ada seorang Menteri Agama yang menunggui penggalian harta karun yang konon peninggalan Prabu Siliwangi. Barangkali yang ada dalam benak Pak Menteri: apa salahnya mencari upaya lain untuk melunasi utang negara saat tim ekonomi andalan Presiden tidak mampu mencari jalan keluar dari krisis ekonomi? Tapi, terlepas dari kontroversi perusakan cagar budaya, betulkah ada harta karun di Batutulis, Bogor? Menurut hemat saya, harta karun yang diwariskan oleh nenek moyang kita sebenarnya sudah habis. Demikian pula jenis kekayaan lainnya. Hutan seluas jutaan hektare telah dibabat habis. Samudra yang membentang luas di antara kepulauan Nusantara telah dirusak ekosistemnya sehingga terumbu karang dan ikan enggan berkembang biak. Tanah yang dulu sangat subur—bahkan Koes Plus mengibaratkan tongkat dan batu jadi tanaman—kini gersang, dan paceklik terjadi di mana-mana. Harta karun yang sangat melimpah tersebut telah dimakan secara rakus oleh para koruptor negeri ini. Rakyat hanya mendapat ”bekas galiannya”. Kalau ternyata Pak Menteri benar-benar bisa menemukan harta karun, saya usul agar dia memimpin departemen baru yang mengurusi perburuan harta karun. Departemen ini bisa go international dan menjalin kerja sama dengan Inggris untuk memburu harta karun nenek moyang Ratu Elizabeth lewat sistem bagi hasil. Dengan demikian, akan diperoleh devisa negara yang berguna untuk memakmurkan rakyat. (TEMPO, 02 September 2002)

Sumbangan bagi Perpustakaan
SAYA ingin menyumbangkan bundel Majalah TEMPO terbitan 1989-2003 kepada perpustakaan atau taman bacaan yang pengelolaannya bersifat sosial. Yang berminat bisa menghubungi saya. (TEMPO, 28 Juli 2003)

Hormati Pemimpin Bangsa
Menyaksikan tayangan acara News Dot Com di Metro TV setiap Minggu malam lama-lama risih juga. Saya menganggap tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam acara tersebut, yang wajah dan gerak-geriknya dimirip-miripkan dengan tokoh aslinya, sudah mengarah pada tindakan melecehkan. Sekarang saya malu untuk tertawa menyaksikan acara tersebut.Rupanya, nilai-nilai menjunjung tinggi harkat dan martabat pemimpin-laiknya bangsa yang berbudaya-telah mulai luntur. Bagaimanapun, mereka (para bekas presiden itu) manusia biasa, tak luput dari kesalahan dan sifat lemah. Toh, mereka banyak jasanya bagi bangsa ini.
Kepada Bung Effendi Ghazali sebagai pakar komunikasi, saya bertanya, “Apakah tidak ada cara yang lebih bijak dalam menyampaikan pesan-pesan moral kepada masyarakat bangsa ini selain memparodikan tokoh-tokoh bangsa kita?” (TEMPO, 12 Maret 2007)