Surtikanthi, awal perjumpaan (3)

Surtikanthi bangun dari pembaringan untuk membuat wedang jahe, untuk dirinya dan suaminya. Karna memandang istrinya dengan tatapan cinta kasih yang mendalam. Betapa gundah hatinya, karena esok hari ia harus berpisah selamanya dengan perempuan cantik itu. Ia mendesah, membayangkan awal perjumpaan dengan Surtikanthi.

~oOo~

Pada waktu itu di Sekolah Tinggi Ilmu Perpanahan (SKIP) negeri Hastina sedang dilaksanakan olimpiade memanah tingkat nasional di bawah koordinasi dua mahaguru yaitu Prof. Kripa dan Prof. Durna. Uniknya olimpiade ini ada pada para pesertanya, yang semuanya mahasiswa SKIP yang tak lain dari wangsa Kurawa dan Pandawa. Semuanya kaum bangsawan, raja dan putra mahkota.

Suasana olimpiade sangat ramai. Masyarakat tumpah ruah menyaksikan perhelatan adu ketangkasan memanah, termasuk para pejabat negeri Hastina. Pelaksanaan acara dilakukan di stadion kebanggaan Hastina, tanpa tiket sehingga membuat para calo tiket gigit jari. Masing-masing penonton mempunyai idola dan jagoan yang dibanggakan. Arjunalah yang paling banyak fans, terutama para gadis Hastina. Yel-yel Arjuna di dadaku membahana tak henti-hentinya: “Arjuna di dadaku, Arjuna kebanggaanku. Ku yakin hari ini pasti menang….!!!”

Pertandingan dimulai. Desingan anak panah terdengar membelah udara. Dan benar saja, Arjuna memperlihatkan kepandaian olah senjata yang melebihi mahasiswa lainnya. Satu demi satu lawan ditaklukan. Yel-yel Arjuna di dadaku makin gayeng.

Duryudana yang didapuk jadi manajer timnas Kurawa begitu geram menyaksikan kekalahan pihak Kurawa. Tapi apalah dayanya, memang sebatas itu kemampuan para adiknya. Di saat kegelisahan Duryudana memuncak, dari arah penonton melesat seseorang lelaki menuju tengah arena pertandingan.

“Arjuna, aku menantangmu. Akan aku tunjukkan kemahiran olah senjata di atas kemampuan yang kamu tunjukkan!” suara lelaki itu lantang, membuat stadion hening.

Lelaki itu mempertontonkan kemampuan olah senjata. Gerakan-gerakan yang dibuat sungguh sempurna. Penonton melongo, kagum. Dan benar saja, kemampuan lelaki itu di atas Arjuna. Melihat itu semua wajah Duryudana menjadi begitu sumringah. Ia hampiri lelaki itu, lalu memeluknya erat-erat.

“Selamat datang ksatria sejati. Timnas kami sungguh beruntung dengan kedatanganmu ini. Mari, bergabung dengan kami. Betewe, siapa kamu?” kata Duryudana bangga.

“Aku Karna. Terima kasih Mas Dur atas sambutanmu ini. Keinginanku cuma satu, berilah aku kesempatan untuk bertarung dengan Arjuna!” jawab lelaki itu yang tak lain adalah Karna.

Mata Duryudana berbinar. Sekali lagi ia memeluk Karna sambil berkata,” Baik… baik… Aku pun akan menyerahkan harta kekayaanku demi kebahagianmu, saudaraku.”

Lebay…,” batin Karna.

Kurawa bersorak, diikuti penonton yang meneriakkan yel-yel “Karna… Karna… Karna…” tiada henti-hentinya, sampai Arjuna berteriak lantang, “Hai Karna, siapa pun dirimu aku akan membunuhmu. Aku tidak suka ada orang yang bisa menandingi kemampuanku!”

Dua ksatria sudah berhadap-hadapan.

Keduanya tampan dan mempunyai kesaktian sundhul langit. Teriak penonton mendukung keduanya membuat suasana menegang. Kunti, yang berada di antara penonton menitikkan air mata. Ia tahu, Karna itu anaknya – hasil perselingkuhannya dengan Bathara Surya, dan Arjuna pun anaknya. Dua anak kandung yang akan bertarung hidup-mati.

Karna mengangkat senjatanya. Diikuti oleh Arjuna. Semua tegang. Dada Kunti bergemuruh hebat, dan ia pun pingsan di kursinya. Seseorang membantunya dan segera membuatnya sadar kembali. Pada saat yang bersamaan, Prof. Kripa berjalan menuju arena pertandingan.

“Karna, kami tidak mengenalmu. Tapi tahukah kamu, siapa Arjuna ini? Ia anak Pandu dan Kunti, keturunan bangsawan terhormat. Dan kau Karna, tunjukkan asal-usulmu, karena setelah kami mengetahui dari mana asal-usulmu kami akan mengizinkan kamu mengikuti olimpiade ini atawa tidak. Arjuna sang bangsawan tidak boleh bertarung melawan petualang yang tidak jelas asal-usulnya,” kata Prof. Kripa lantang.

Sungguh dahsyat pengaruh kata-kata Kripa itu. Karna langsung tertunduk menjatuhkan senjatanya. Langit tiba-tiba tertutup awan gelap, sepertinya Dewa Matahari ikut bersedih dengan duka putranya.

Duryudana tersentak juga, dan buru-buru menghampiri Prof. Kripa dan berkata, “Prof, jika pertandingan ini tidak dapat diteruskan hanya karena saudaraku Karna ini bukan seorang anak raja mudah saja bagiku. Kini, Karna aku nobatkan menjadi Raja Awangga, kerajaan di bawah Hastina!”

Semua bangsawan kaget dengan keputusan Duryudana yang melakukan naturalisasi Karna secara radikal tersebut. Duryudana segera menghampiri Raja Destarata – ayahnya, untuk segera menobatkan Karna. Raja Destrarata tidak mungkin menolak permintaan anak kesayangannya itu.

Penobatan segera dilakukan. Karna telah resmi menjadi Raja Awangga setelah semua lambang kebesaran raja diberikan kepadanya. Karna terlihat sangat gagah. Dewa Matahari kembali tersenyum dengan memperlihatkan cahayanya.

Karna mempersiapkan kembali senjatanya. Siap bertarung melawan Arjuna. Tetapi pertarungan itu kembali tertunda, ketika tiba-tiba datang seseorang lelaki tua berjalan menuju arah Karna berdiri.

“Ayah…. !!!” Karna melangkah menghampiri lelaki tua itu. Karna menghaturkan sembah baktinya kepada lelaki itu yang tak lain adalah ayah angkatnya.

~oOo~

Mengenang itu semua tanpa disadari menetes air mata Karna. Surtikanthi yang masuk kembali ke kamar dengan membawa wedang jahe menjadi tertegun menyaksikan suaminya menangis.

“Ada apa mas, kenapa menangis?” tanya Surtikanthi.

“Ah… tidak. Aku teringat ayah angkatku – bapak Adirata, seorang kusir kereta yang menyelamatkan bayi yang dibuang Kunti di sungai ketika ia memberi minum kudanya. Sejak saat itu aku diasuh oleh bapak Adirata hingga aku dewasa. Dan ketika aku dinobatkan menjadi Raja Awangga bapak Adirata datang menemui anak angkatnya untuk memberikan doa restunya. Tetapi… ,“ kalimat Karna terpenggal, kembali ia menitikkan air matanya.

“Mas Karna… ada apa? Ini jahenya diminum dulu, barangkali akan menenangkan hatimu,” kata Surtikanthi sambil mengangsurkan cangkir ke suaminya.

Karna segera menyeruput wedang jahe. Hangatnya segera menjalar ke seluruh tubuhnya. Benar kata Surtikanthi, hatinya kembali tenang.

“Terima kasih, cintaku,” kata Karna, lalu mengecup kening Surtikanthi.

 Sebelumnya                                                                         Sesudahnya