Tua itu pasti, tapi jangan pikun

Saat melewati usia setengah abad dua setengah tahun lalu hampir tiada berasa. Perputaran roda-roda mesin waktu seakan semakin cepat saja. Tau-tau jadi tua.

Jika melihat wajah di cermin seakan tidak berubah, perasaan masih mirip seperti di masa kecil dulu. Cermin pasti jujur, menampakkan gurat-gurat kasepuhan di wajah saya, hanya perasaan ini saja yang suka membohongi diri: masih muda.

Arkian, naik tangga sepuluh langkah saja nafas sudah saling memburu, pun melangkah mulai diseret bahkan ada beda tinggi pada lantai kaki saya terantuk. Itu tanda-tanda tua. Pandangan tak setajam mata elang lagi. Ketinggalan kacamata baca tak bisa lagi mengeja kata apalagi kalimat. Itu tanda-tanda tua.

Balsem dan obat masuk angin jadi santapan sehari-hari. Atau jika sedang buka-buka toko online, yang dicari tak jauh-jauh dari perkara mengobati kolesterol, asam urat atau gula. Tanda-tanda tua mana lagi yang kau dustakan?

***

Terminal 3 CGK, kemarin siang.

Urusan check-in kelar sudah. Waktu itu saya membawa koper-kabin, back pack dan tas selempang. Saat akan melewati pemeriksaan di alat pemindai, semua barang bawaan saya masukkan ke pemindai sementara saya melewati metal detector. Saya segera menuju konter pemeriksaan imigrasi.

Karena malamnya kurang tidur saya melangkah dengan sedikit gontai menuju ruang tunggu. Baru duduk sekian menit, saya tersadar kalau back pack tidak terbawa!

Di mana gerangan? Waktu boarding 50 menit lagi. Saya bergegas ke konter imigrasi, tak ada barang yang saya cari. Pencarian mesti ke bagian pemindai barang bawaan penumpang. Aduhai, bagaimana cara keluar dari pintu imigrasi?

Saya menghampiri petugas dan mengatakan kalau barang saya ada yang tertinggal. Petugas tersebut menahan paspor saya, tetapi memberikan tiket saya. Sampai di ruang pemindai saya lihat back pack saya ada di sana, terkumpul dengan beberapa barang lain (rupanya tak hanya saya yang tertinggal).

Saya mengatakan kepada petugas di sana kalau back pack tertinggal.

“Barangnya yang mana pak?”

“Yang warna hitam itu, pak.”

“Apa isinya?”

“Pakaian dan alat mandi.”

“Ada yang lain?”

“Sajadah.”

“Ada yang spesifik lagi?”

Jamu Tolak Angin Sido Muncul”.

Petugas pun membuka tas ransel saya itu. Belum juga ia mengobok-obok lebih dalam lagi, bungkus jamu warna kuning kebanggaan saya nonggol dari balik lipatan kaos. Tanpa banyak bicara ia mempersilakan saya membawa tas tersebut.

Saya segera membawa back pack saya menuju ruang tunggu. Dan tidak lama kemudian terdengar panggilan boarding.