Toleran

Waktu kemarin bepergian dengan seorang kolega ke suatu negeri yang cukup susah mendapatkan halal-food, (lagi-lagi) saya mendapatkan sebuah pelajaran tentang hidup toleran antar umat beragama. Saya bilang susah mendapatkan halal-food, karena kami sama-sama baru pertama kali menginjakkan kaki di sana, sehingga nggak tahu di mana terdapat halal-food

Kolega saya itu seorang Kristiani yang taat, tapi ia juga sedikit memahami tentang halal-haram dalam tatanan hukum Islam.

Dari tanah air seorang kawan sudah bernasihat agar saya hati-hati memilih makanan di negeri yang saya kunjungi. Sarapan di hotel saya bisa memilih makanan yang sudah saya kenal, di buffet-nya tinggal memilih sesuai tulisan yang tertera. Persoalan timbul ketika makan siang atawa makan malam.

“Saya akan menemani Anda mencari makanan yang halal,” kata kolega saya, yang memang terbiasa memanggil kolega lain dengan sebutan Anda.

Maka, kami pun jalan kaki dari hotel menyusuri lorong-lorong, sambil bertanya di mana tersedia halal-food. Kami mendapatkan deretan rumah makan India atawa Paskistan. Hmm, makanan halal mahal juga ya.

Pada hari berikutnya, kami mendapatkan masakan Timur Tengah. Ah, saya kasihan juga dengan kolega saya yang barangkali ingin menikmati masakan khas negeri itu. Perburuan kami lakukan: satu rumah makan tapi menjual beberapa menu masakan.

Akhirnya kami menemukan sebuah food-court, di sana ada puluhan konter rumah makan, termasuk masakan Indonesia yang semuanya halal. Kolega saya dengan lahap menghabiskan makanan pesanannya, pun dengan saya.

“Kenapa Anda dan muslim lainnya begitu taat dengan halal-haram makanan?” tanyanya.

“Larangan Tuhan nggak bisa ditawar-tawar dan tabu bagi kami bertanya kenapa hewan ini-itu dagingnya haram untuk dimakan,” jawab saya.

“Saya lihat di ujung sana tadi ada musholla, kalau Anda mau shalat saya tunggu di sini,” katanya kemudian.

~oOo~

Beberapa kali saya bepergian dengan teman Kristiani untuk satu urusan, satu hotel dan satu kamar. Misalnya ketika ada urusan di Bali. Hampir sama dengan cerita di atas ketika mencari halal-food. Di Bali lebih mudah mendapatkan halal-food. Suatu saat teman saya ingin makan di sebuah warung yang ada di Jalan Kuta (yang satunya ada di Seminyak) yang konon bakmi kuahnya sangat enak (tentu saja dimasak dengan daging piglet), saya dengan senang hati ikut bersamanya. Katanya, wong sudah ada di Bali kok nggak mampir warung yang terkenal itu.

Sebelumnya mobil saya belokkan mobil sewaan di sebuah fast-food yang ada di Kuta Square, untuk beli burger. Ia menikmati bakmi kuahnya, saya menowel burger dan menyeruput air mineral.

Hidup itu indah, nggak usah dibikin tegang untuk urusan keyakinan.