Tidak dikejar deadline

Saat ini saya mengasuh sebuah penerbitan majalah internal yang diedarkan untuk kalangan terbatas (relasi kantor dan karyawan). Lumayan, majalah tersebut sudah terbit sebanyak 11 edisi. Majalah ini terbit setahun dua kali, pada setiap bulan Februari dan Agustus. Tak hanya sebagai pimpinan redaksi, saya juga sebagai editor sekaligus pegang lay out-nya. Bahkan urusan pra-cetak, saya terlibat langsung. Sebuah pekerjaan yang sangat menyenangkan hati.

Meskipun saya bertanggung jawab agar majalah tersebut terbit tepat waktu, saya berusaha supaya tidak dikejar deadline karena rentang waktu 6 bulan sangat cukup untuk merencanakan terbitnya sebuah majalah, di samping rubrik yang ada bisa dipersiapkan jauh-jauh hari. Kadangkala, jika ada sebuah momen yang perlu diliput mendekati tanggal terbit, perlu upaya ekstra supaya naskahnya masuk di salah satu halaman majalah. Kalau sudah begitu, biasanya saya menyisakan halaman kosong untuk liputan tersebut.

Rubrik apa saja yang ditampilkan di majalah tersebut? Artikel yang ditampilkan saya usahakan sifatnya lestari – dibaca kapan saja tetap up to date, yakni berupa referensi: lingkungan, manajemen, ke-HRD-an, kesehatan, sejarah, dan sebagainya. Untuk artikel yang berupa liputan sebuah kegiatan, saya menggunakan rasa bahasa yang jika dibaca lima tahun mendatang, misalnya, pembaca seperti bernostalgia.

Naskah didapatkan dari mana? Sesungguhnya saya kesulitan mengajak teman-teman untuk berani menulis. Penghargaan yang saya berikan, foto dan nama penulis akan saya cantumkan dalam artikel yang diterbitkan. Saya pernah memergoki seorang teman bangga betul tulisannya dimuat di majalah plus terpampang fotonya yang sedang tersenyum. 

Mimpi saya mengenai majalah ini adalah ia akan semakin sering terbit dalam setahun, dan ke depan ia akan menjadi majalah komersial yang dapat memberikan masukan bagi perusahaan dari sektor penerbitan.

Kalau mimpi itu terwujud dan saya masih terlibat di dalamnya, ah… saya pasti merasakan bagaimana asyiknya dikejar deadline. (pcyb)