Raffles sang penjarah

Buku History of Java karya Thomas Stamford Raffles masih ada di pangkuanku, hampir separonya telah kubaca. Hebat betul orang yang bernama Raffles itu hingga bisa menyusun buku tentang Jawa yang tebalnya hampir 10 cm. Ia adalah wong londo yang sangat mencintai Jawa dan menjadi orang yang pertama kali memberikan perhatian kepada Borobodur.

Betapa senang hatiku ketika seorang kolega mengundangku ke Inggris, negeri kelahiran Raffles. Kami janjian ketemu di ruang Great Court British Museum, Inggris. Sosok kolega yang sudah dua tahun nggak bertemu denganku, kok belum kelihatan. Iseng saja sambil mencari kolegaku itu, mataku clingak-clinguk siapa tahu bertemu dengan Ibu Museum Indonesia di tempat ini, secara si ibu suka blusukan ke museum.

Aku dikagetkan oleh sebuah tepukan lembut di pundak, ternyata kolegaku.

Setelah saling melepas kangen, ia mulai mengajakku keliling museum. Di ruang Hotung Gallery aku mendapati patung kepala Buddha dari Candi Borobudur. Hmm, ini membawa fikiranku melayang pada salah satu halaman buku History of Java.

“Di museum ini juga tersimpan naskah berbahasa Jawa. Nanti aku antar kau ke British Library. Kau akan terkejut, kawan. Di sana ada Serat Damar Wulan,” kata kolegaku sambil memelototkan matanya.

Ketika konsentrasiku tertuju pada koleksi yang dipajang di British Museum, tiba-tiba muncul di hadapanku sesosok lelaki berpakaian surjan. Ia mengangguk sopan sekali kepadaku. “Sugeng rawuh, Kyaine!” sapanya ramah.

“Kisanak siapa? Kok berpakaian Jawa awal abad 19?” tanya saya gugup, karena terkejut.

“Saya Ki Cipto Wening, abdi kinasih Ngarso Dalem Kaping Kalih,” tuturnya. O, kenapa abdi Sultan Hamengku Buwono II ini ada di British Museum.

Tanpa aku duga, telapak tangan Ki Cipto Wening mengusap wajahku dan ruang museum berubah menjadi pendapa Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat di tanggal 20 Juni 1812. Belum habis rasa terkejutku, dari arah gerbang keraton muncul ribuan tentara Raffles. Sebagian dari mereka telah menjebol tembok keraton. Tentara londo yang dikomando oleh Gillespie menyerang pasukan keraton yang jumlahnya tidak seberapa. Keraton Ngayogyakarta takluk dalam hitungan menit. Meskipun bendera putih telah berkibar tanda menyerah, namun tentara Gillespie tetap meringsek masuk keraton.

Dari arah Mesjid Suronatan aku lihat Ki Cipto Wening dengan gagah berani mengambil bedil milik tentara Inggris yang tewas dan menembak ke arah Gillespie dan melukai lengan kirinya. Gillespie meradang dan memerintahkan supaya Sultan Hamengku Buwono II ditahan dan menyita harta keraton. Tak lama kemudian Raffles dan Residen Yogyakarta John Crawfurd datang dan merampas seluruh arsip dan pusaka keraton. Berpeti-peti harta, arsip dan pusaka keraton diangkut dengan belasan pedati.

Aku mengikuti ke mana arah pedati-pedati tersebut. Ternyata menuju Benteng Vrededurg. Di sana terjadi pembagian jarahan. Raffles dan Crawfurd mendapatkan berbagai manuskrip dan buku-buku.

“Sinuwun Ngarso Dalem meneteskan air mata, Kyaine. Mereka memaksa Ngarso Dalem menyerahkan keris, pedang dan belati pusaka keraton,” ujar Ki Cipto Wening tersedu, “Lalu Raffles mengirimkan pedang dan belati tersebut ke Lord Minto di Kolkata India, sebagai lambang takluknya Keraton Ngayogyakarta ke Inggris,” lanjutnya.

Hatiku geram mendengar tuturan Ki Cipto Wening mengenai banyaknya barang jarahan Raffles: ada boneka, topeng, instrumen musik, berbagai jenis wayang dan, tentu saja, manuskrip.

“Ayo, sekarang kita ke British Library!” ajakan kolegaku mengejutkan.

Samar-samar Ki Cipto Wening berbisik ke telingaku, “Di sana ada ribuan manuskrip milik Keraton Ngayogyakarta, Kyaine!”

Aku penasaran.

Note: Cerita penjarahan Keraton Ngayogyakarta diinterpretasi secara bebas dari rubrik Intermezo Majalah Tempo edisi 25-31 Maret 2013.