Tanda bakti Ekalaya kepada gurunya

Bambang Ekalaya menggandeng istrinya memasuki rumahnya, tanpa menengok ke belakang untuk sekedar melihat keadaan Arjuna yang terkapar bersimbah darah.

Keadaan halaman rumah Ekalaya porak-poranda akibat pertempuran sengit dirinya dengan si bajul buntung Arjuna. Wahai Arjuna dari mana bakat play boy-mu itu diturunkan? Sepi. Burung bangkai yang berada di balik pohon sejak tadi mengincar tubuh Arjuna. Ia ingin berpesta bersama kawan-kawannya.

~oOo~

Drona memerintahkan murid-muridnya untuk kembali ke kampus, dengan membawa hasil hewan buruan hari itu. Semua murid segera membereskan peralatan panah, lalu bersiap berangkat menuju Hastinapura. Namun, ada yang kurang: tak ada Arjuna di antara mereka. Drona gelisah, ke mana murid kinasihnya berada?

Ia memerintahkan Duryodana dan Yudhistira untuk kembali ke kampus duluan bersama murid yang lain. Ia akan mencari Arjuna.

~oOo~

Tiga burung bangkai menari di atas tubuh Arjuna yang tergeletak di tanah. Paruh-paruh mereka mematuk di bekas luka panah yang dihunjamkan oleh Ekalaya. Dari kejauhan Mahaguru Drona memerhatikan tingkah ketiga burung tersebut, tetapi betapa terperanjatnya ia ternyata tubuh yang dipatuk oleh para burung bangkai itu adalah Arjuna, murid kesayangannya. Tanpa membuang waktu, ia segera mengangkat tubuh Arjuna yang telah membeku lalu membawanya ke Hastinapura International Hospital.

Ruang IGD dikosongkan. Sebagai kerabat istana Hastinapura, Arjuna mesti mendapat perlakukan istimewa. Dokter dan perawat sangat sibuk untuk merawat Arjuna. Gagal.

Mereka baru menyadari kalau Arjuna telah tewas beberapa jam sebelumnya!

Hastinapura geger. Drona meradang, dalam hatinya bertanya siapa gerangan yang berani membunuh muridnya? Bathara Kresna segera dihubungi oleh Bima, untuk melihat kondisi Arjuna. Memang hanya Kresna satu-satunya harapan Hastinapura.

(Ah, sebenarnya saya tak suka pada bagian ini). Kresna hanya tersenyum menyaksikan jasad Arjuna. Ia berkata kepada para kerabat istana bahwa Arjuna belum saatnya mati. Maka, dengan mengusapkan Kembang Wijayakusuma ke wajah Arjuna, Bathara Kresna mengembalikan nafas dan kehidupan Arjuna.

“Jun, siapa yang telah melukaimu?” tanya Drona begitu kesadaran Arjuna pulih.

“Anak muda yang dulu ingin menjadi murid Mahaguru,” jawab Arjuna.

“Oh, Ekalaya. Aku sudah menduga, karena hanya ia yang mampu mengalahkanmu. Tersebab oleh apa kalian berkelahi hingga menewaskan dirimu, Jun?” desak Drona.

“Perempuan, guru. Sangat cantik he..he…!” jawab Arjuna.

“Hah! Play boy Hastina kalah rebutan cewek?” ledek Duryodana.

“Perempuan cantik itu….. adalah …. istrinya Ekalaya!” Arjuna menunduk malu.

Plak!! Drona menampar pipi Arjuna. Kecewa.

~oOo~

Mahaguru Drona beberapa hari ini gelisah. Ia memikirkan Ekalaya yang telah mengalahkan Arjuna secara telak. Bagaimana mungkin, ia adalah mahaguru yang terkenal mempunyai murid pilih tanding tetapi dikalahkan oleh cah ndeso yang tak berpendidikan khusus? Ia segera menemui Kresna.

“Begitulah kegelisahanku,” kata Drona setelah menceritakan galau hatinya.

“Takdir Arjuna nanti memang akan dikalahkan oleh Ekalaya. Tapi, kita bisa kok mengubah takdir itu!” kata Kresna sambil tersenyum.

Kemudian, dua orang itu pun membuat siasat. Rencana licik yang hanya diketahui oleh mereka berdua dan tentu saja oleh Ki Dalang juga.

~oOo~

Ekalaya masih rajin berlatih di depan patung Drona. Sungguh mengherankan memang, hanya dengan berlatih sendiri kemampuan memanahnya mengalami kemajuan yang sangat pesat. Tanpa disadarinya, ada sepasang mata mengamati cara memanahnya. Pemilik sepasang mata itu tak henti berdecak kagum. Melihat kemampuan Ekalaya, ia semakin mantap melaksanakan siasat licik yang ia rencanakan bersama Kresna beberapa hari sebelumnya.

Drona segera berjalan ke arah patung dirinya. Ia berdiri di sampingnya. Matanya masih menatap ke arah Ekalaya yang lincah memainkan anak panah ke sasaran tembaknya.

“Cukup, Ekalaya. Istirahatlah sejenak. Aku ingin bicara kepadamu,” ucap Drona yang mengejutkan Ekalaya.

Ia menoleh ke arah suara. Hah! Ada dua sosok Drona di hadapannya. Ia mengucek matanya. Sosok Drona yang asli ada di hadapannya. Ekalaya segera menghampiri Mahaguru Drona, bersimpuh di kakinya untuk menghaturkan sembah bakti.

“Terima kasih, Mahaguru telah berkenan menengok hamba,” tuturnya halus.

“Ekalaya, aku sudah melihat kemampuan dan kesungguhanmu untuk menjadi muridku. Aku berkenan menerimamu menjadi salah satu muridku,” sahut Drona.

Bambang Ekalaya semakin merendahkan tubuhnya dan berkali-kali menyampaikan rasa terima kasih karena Drona telah berkenan menerimanya menjadi muridnya. Hati Ekalaya merasa bangga. Upaya yang dilakukan selama ini tidaklah sia-sia.

“Kamu tahu, apa bakti seorang murid kepada gurunya?” tanya Drona kemudian.

“Apapun keinginan Mahaguru, hamba akan melaksanakan demi bakti hamba kepada Mahaguru Drona,” jawab Ekalaya dengan masih tetap menundukkan kepalanya.

“Aku hanya meminta satu hal, Ekalaya. Potonglah ibu jari tangan kananmu sebagai bukti darma baktimu kepada gurumu!” kata Drona menyembunyikan senyum jahatnya.

Tanpa diduga oleh Drona, Ekalaya segera meloloskan pisau belati yang ada di pinggangnya dan memotong ibu jari tangan kanannya. Cres!! Kemudian, ia memberikan potongan ibu jarinya itu kepada Mahaguru Drona.

“Aku terima darma baktimu, Ekalaya!” kata Drona dan tak lama kemudian ia melesat meninggalkan Ekalaya yang masih dalam posisi bersimpuh.

Demikianlah, siasat licik dilaksanakan dengan gemilang oleh Drona. Dengan kehilangan ibu jari tangan kanan, ia berharap Ekalaya tak mampu lagi memainkan busur dan anak panah secara sempurna, sehingga tak akan ada lagi manusia di bumi ini yang bisa mengalahkan Arjuna.

Benarkah?