Tak suka Penjas

Waktu zaman sekolah dulu, mata pelajaran yang paling tidak saya sukai adalah Pendidikan Jasmani (saya lupa istilah mata pelajaran zaman SMP atawa SMA dulu, kalau zaman SD hanya disebut sebagai pelajaran Olah Raga). Dalam satu minggu, paling tidak harus memakai pakaian training dua kali yakni pas pelajaran olah raga dan untuk senam di hari Jumat.

Dulu senam wajib hari Jumat bernama SKJ, senam kesegaran jasmani, semua murid tanpa kecuali senam bersama-sama di halaman sekolah. Pak Guru olah raga berkeliling untuk memastikan semua murid mengikuti gerakan sesuai irama musik yang distel melalui tep-rekorder. Selesai senam istirahat sejenak sebelum dimulai pelajaran kedua. Tak jarang kelas ambune ting klenyit,  bau keringat khas anak-anak yang beranjak remaja.

Kenapa saya tak suka pelajaran olah raga? Entah apa alasan utamanya. Seingat saya, guru-guru olah raga saya dulu kok nggak  pada galak ya. Mereka kadang terlihat overacting dalam memarahi murid – pada saat upacara bendera misalnya. Sebagai penegak disiplin, mereka sendiri sering tidak disiplin. Sering terlihat merokok di lingkungan sekolah. Suka membabat rambut cowok yang gondrong, padahal ia sendiri berambut gondrong.

Kalau ia sedang malas mengajar, ia perintahkan murid-murid berlari mengelilingi lapangan tujuh putaran, sementara ia kabur entah ke mana. Kalau sedang tidak kejam, ia hanya memerintahkan murid-murid senam dan membebaskan olah raga apa pun (tapi kebanyakan murid lebih senang duduk-duduk di pinggir lapangan).

Pelajaran di kelas paling membosankan adalah ketika ia menyuruh murid-murid membuat bagan pertandingan babak penyisihan, baik yang kompetisi penuh atawa yang cuma setengah kompetisi. Lalu, para murid dipaksa menghapal ukuran lapangan sepak bola, tinggi dan lebar gawangnya, diameter bola, panjang (lempar) lembing, ukuran lapangan badminton dan tinggi net-nya, dan ukuran-ukuran lapangan olah raga lainnya.

Nilai olah raga saya selalu sama atawa di bawah rata-rata kelas. Pak Guru cara menilainya berdasar “ketrampilan” berolah raga para murid. Tentu saja saya akan mendapat nilai rendah saat tanding-lari 100 meter karena saya tiba di garis finish paling belakangan. Saya akan jadi pecundang ketika lontaran tolak-peluru hanya jatuh tak jauh dari kaki saya atawa lompatan loncat-jauh hanya dua meter atawa lompat tinggi saya sebatas tinggi pinggang. Pokoknya, saya nggak pandai bermain olah raga apapun, bahkan sekedar jogging pun kelihatan wagu.

Imbasnya (bahkan sampai kini) saya tak menyukai hal-hal yang berbau olah raga, termasuk berita-berita olah raga, baik di TV maupun media cetak.