Tak ada makan siang gratis

Kegiatan menjamu para pejabat negeri merupakan hal yang biasa dilakukan oleh kalangan swasta, dengan berbagai macam tujuan mulai dari dalam rangka memuluskan suatu urusan rumit hingga sekedar bersilaturahim biasa. Menjamu yang dimaksud di sini tak jauh dari urusan suap-menyuap makanan alias jamuan makan siang.

Selama hampir dua puluh tahun berhubungan dengan birokrat (pusat dan daerah) urusan jamu-menjamu makan siang mereka sering saya lalukan dan saya mencatat beberapa cerita lucu tentang kegiatan perjamuan tersebut.

(1)

Stori ini terjadi awal tahun 1995-an, di sebuah rumah makan Masakan Padang. Saya menjamu rombongan birokrat daerah setelah kegiatan peninjauan lapangan. Waktu itu saya bisa memperkirakan berapa biaya makan, tinggal hitung jumlah orang dikali rata-rata harga makanan. Namun, kenyataannya tidak begitu. Ini sungguh pengalaman pertama saya menjamu birokrat. O la la, ternyata mereka pada ambil kretek kesukaan masing-masing. Tak hanya satu bungkus, bahkan ada yang sampai tiga bungkus. Kepala saya mulai cenat-cenut.

Saya datangi kasir untuk menanyakan berapa jumlah yang mesti saya bayar. Duh, jumlahnya dua kali lipat dari perhitungan awal. Uang di saku yang kasbon dari kantor masih kurang banyak. Maka, dengan meminta izin kepada pemilik rumah makan untuk keluar sebentar mencari mesin ATM (tak sebanyak sekarang). Saya sebenarnya tak yakin, apakah saldo tabungan saya cukup untuk menambah kekurangan bayar makan siang. Dan benar saja, dikuras sampai habis pun saldo nggak akan cukup. 

Dalam keadaan bingung terlintas di fikiran saya untuk memberikan KTP sebagai jaminan. Berdasarkan pengalaman ini, sebelum duduk di kursi saya akan ke kasir dulu dan bilang “permintaan rokok jangan dilayani” atawa “menjadi tanggungan sendiri.”

(2)

Di sebuah resto hotel, suatu ketika. Saya menjamu makan siang seorang sordadu berpangkat level perwira menengah. Sebelumnya saya nggak mengenalnya. Datang ke tempat tersebut diatur oleh seorang kawan yang lebih dahulu kenal dengannya. Kami makan tak habis banyak, masing-masing hanya memesan nasi goreng saja.

Setelah urusan selesai, Pak Sordadu pamit bersamaan dengan kawan saya itu. Setelah mengantar sampai parkiran, saya kembali ke dalam resto untuk membereskan pembayaran. Betapa terkejutnya saya, ketika kasir memberikan satu bendel bon yang harus saya bayar. Saya periksa bendel bon. “Ini bon-bon milik Pak Sordadu yang belum dibayar, Pak!” kata mBak Kasir.

Saya kembalikan bendel bon dan berkata, “Ini bukan urusan saya. Berapa makan siang tadi?” Saya pun membayar makan siang kami bertiga tadi saja.

(3)

Jamuan makan siang selesai, tinggal ngobrol dan menghabiskan kopi sambil mengepulkan asap kretek. Bapak pejabat yang saya jamu kali ini rupanya sayang pada keluarganya. Ia menghampiri tempat duduk saya dan berkata lirih, “Boleh saya pesan makan untuk dibawa pulang,  Pak?”

Dengan senang hati saya meluluskan keinginan Bapak yang ingat akan keluarganya itu.

(4)

Saya sedang makan siang bertiga dengan teman kantor di sebuah rumah rumah makan lesehan. Di sana saya bertemu dengan seorang pejabat beserta keluarganya, yang lebih dahulu datang. Mereka tengah menikmati makananya. Saya bertegur sapa sebentar dan menyilakan mereka melanjutkan makan siangnya.

Ketika saya berada di depan kasir, saya disodori bon lain yang harus saya bayar. Bon siapa? Milik pak pejabat yang tadi makan bersama keluarganya.