Bahasa reklame

“Pak, bukankah Bahasa Indonesia itu sulit, tetapi kenapa tidak ada les Bahasa Indonesia ya?” pertanyaan ini meluncur dari bibir anakku serta merta membuatku gelagapan untuk menjawabnya.

“Maksudmu, piye, nDuk?” tanyaku singkat sambil mereka-reka jawaban yang pas untuknya.

Kemudian ia mendiskripsikan susahnya belajar kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar, mulai dari EYD-nya, tata bahasa hingga majas dan peribahasa. “Justru, sekarang ini kita dibombardir oleh istilah Bahasa Inggris yang sepotong-sepotong saja,” tuturnya kemudian.

Aku masih menunggu uraian anak wedok-ku.

“Kalau Bapak amati, bukankah spanduk-spanduk di pinggir jalan penuh dengan istilah Bahasa Inggris? Ada berapa bule sih di kota ini? Lagi pula, kebanyakan kita belum becus betul berbahasa Indonesia,”  katanya. “Dalam percakapan sehari-hari pun tak jarang terselip satu-dua kata dalam bahasa Inggris.”

O, aku baru paham sekarang. Betul kata dia. Istilah Bahasa Inggris memang bertebaran di kota kecil kami, seperti: Open Now, Big Sale, Grand Opening, Get Free, Discount up to 70%, Booking fee, Support Smoke Free Our City, dan lain-lain yang mayoritas merupakan kata-kata reklame. Semua itu ditujukan kepada warga kota tempat tinggal kami yang sangat mungkin tak ada seorang bule pun yang tinggal di dalamnya.

Kalaupun ada pemakaian bahasa Indonesia di dalam iklan atawa reklame, tata bahasanya lumayan amburadul, apalagi di dalam iklan-iklan rokok.

Namanya juga iklan toh, Mas, ngapain perkara bahasanya diurusin?

“Rumput Gue Lebih Asik dari Tetangga”; “Masih Banyak Celah Kok Nyerah, Tanya Kenapa”;  “99 Tahun Cita Rasa Legendaris Dahulu, Sekarang dan Selamanya”; “Untuk Siapa yang Bertujuan Untuk Tersesat, Go A Head”; “Siang Dipendam Malam Balas Dendam”; Pria Punya Selera”; “Yang Lebih Muda yang Gak Dipercaya”.

Apakah Anda bisa membakukan kalimat iklan di atas itu?

Enjoy aja.