“Kakek janji padaku untuk cerita tentang kabar-kabar besar di dunia,” Kusmi mengingatkan aku. “Kalau tidak, bagaimana aku bisa jadi terpelajar?”
“Kantung kabar besar itu terlalu berat untuk dibawa ke mana-mana,” jawab Kakek. “Isinya kepenuhan dengan sampah.”
“Tinggalkan saja sampahnya dan ceritakan sisanya. Bisa kan?”
“Jika begitu tinggal sedikit isi yang terkandung; bisa-bisa kamu tidak menganggapnya kabar besar lagi. Tapi itulah yang jadi kabar yang sesungguhnya.”
“Ya sudah. Beri aku kabar yang sesungguhnya kalau begitu.”
“Baiklah. Kamu gadis kecil yang beruntung. Kalau saja kamu sedang belajar untuk gelar sarjanamu, meja kamu akan penuh tumpukan sampah; kamu pun harus menyeret-nyeret sekodi buku catatan sesak dengan kebohongan dan omong-kosong.”
“Ya deh, Kakek. Ceritakan padaku beberapa kabar besar, dan usahakan agar singkat-padat saja,” sahut Kusmi. “Aku mau tahu sehebat apa kakekku.”
“Baiklah. Dengarkan ya.”
Sedang tentram suasana di perahu pedagang itu. Lalu sebuah debat sengit pecah antara dedayung dan layar. Para dayung berderak naik bersama-sama dan mengajukan gugatan pada tukang perahu. “Kami tak tahan lagi dengan semua ini,” mereka berujar. “Layar milikmu itu, kembang oleh kesombongan, menghina kami sebagai gerombolan kasar dan kampungan – itu semua hanya karena kami dipaksa dari papan sampai gagang mengayuh air siang dan malam, sementara dia hanya berkibar-kibar, tanpa kerja tangan untuk mendorong. Dia pikir dia jadi istimewa karena itu. Kamu harus mengambil keputusan sekarang dan selamanya, siapa yang lebih berharga bagi kamu. Kalau kami memang tidak penting, kami mau pensiun bersama-sama. Coba lihat bagaimana kamu melaut tanpa kami!”
Si tukang perahu mengendus adanya masalah. Ia meletakkan para dayung di sampingnya dan berbisik kepada mereka, “Jangan pedulikan dia sama sekali, kawanku! Dia cuma kantong angin saja. Wah, jika kalian nan perkasa ini tidak berbuat, perahu ini tak akan bergerak! Layar itu memang angkuh, pelagak kosong di atas geladak. Satu semburan angin saja dan ia akan melumpruk, tak pun berkibar lagi – sedangkan aku tahu kalian akan tetap di sampingku dalam suka maupun duka. Kalianlah yang memanggul muatan harga diri tak terperi itu menembus segala cuaca. Berani-beraninya dia menyebut kalian dengan nama keji itu!”
Tapi setelah itu si tukang perahu cemas jika layar mendengar kata-katanya. Ia pun beranjak kepadanya dan berbisik, “Tuan Layar yang baik, tak ada yang menandingi engkau. Siapa yang berkata bahwa dikau hanya menjalankan perahu? Itu pekerjaan kasar, tak berharga bagi dirimu. Engkau niscaya mengikuti panggilan kebangsawananmu, sementara para pelayan itu berdiri di belakang engkau. Mungkin saja dikau sedang sedikit layu sekarang atau jika kehabisan nafas? Tapi apalah itu? Bung, jangan dengarkan celomet para dayung. Saya sudah mengeratkan mereka sehingga mereka harus bekerja, betapapun mereka menggerutu dan mencuih.”
Maka si layar pun mengembangkan dadanya dan merentang sembari menatap langit.
Tapi tanda-tanda tidak berpihak padanya. Para dayung bertulang keras rupanya. Mereka telah begitu lama merunduk-runduk, tetapi mereka akan bangkit dan memukul balik pada suatu hari. Kesombongan sang layar pun akan tercabik-cabik. Dunia akan tahu bahwa para dayunglah yang menggerakkan perahu melalui ombak badai maupun hujan.
“Cuma itu ceritanya?” tanya Kusmi. “Begitu sajakah kabar besarnya? Kakek bikin lelucon ya!”
“Kedengarannya seperti lelucon sekarang,” ujar Kakek, “tapi suatu hari itu akan tampak sebagai kabar besar seperti seharusnya.”
“Apa yang terjadi kalau begitu?”
“Yang terjadi, kakekmu ini akan berbaris bersama para dayung dan hidup bersama mereka.”
“Lalu, aku bagaimana?”
“Kamu akan bertugas meminyaki ketika dedayung mulai berderik terlalu keras.”
“Kamu sudah mengerti kan, sekarang?” Kakek bertanya. “Kabar yang sangat penting biasanya kecil seperti biji. Dari sana, perlu waktu bagi pohon besar untuk bertumbuh, bercabang dan segalanya.”
“O begitu ya. Aku mengerti,” kata Kusmi.
Tampak jelas di wajahnya bahwa ia tak mengerti sama sekali. Tetapi Kusmi punya bakat baik untuk tidak mengakuinya pada sang Kakek. Lebih baik tidak bilang padanya bahwa ia memang tidak sepintar Bibi Itu dulu.
~oOo~
Bagi Rabindranath Tagore – penyair, pelukis, pencipta lagu, dan peraih Nobel Sastra 1913 – masa kanak yang lepas bebas merupakan awal menuju pribadi yang sehat. Sebanyak 25 cerita pendek terpilih dalam buku Tagore dan Masa Kanak ini berkisah antara lain tentang anak dan ayahnya dan seorang cucu dengan kakeknya. Percakapan yang terjalin terasa segar, jenaka, cerdas dan liar. Diceritakan pula masa kanak-kanak sang pujangga, kenangan, kekonyolan, dan khayalan yang melambung tinggi. Kisah yang saya sajikan di atas berjudul Kabar Besar (halaman 83-86). Buku Tagore dan Masa Kanak diterjemahkan oleh Ayu Utami, diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (Mei, 2011) setebal 192 halaman.