Suwuk

Dasman dipusingkan tingkah anak-anaknya. Pulang kerja Dasman mendapati rumahnya berantakan. Kedua anak lelakinya, klas 2 SD dan adiknya baru masuk TK Nol Kecil berkelahi dengan sebelumnya melakukan kejar-kejaran di dalam rumah. Darsi, istri Dasman sampai ngap-ngapan meneriaki kedua anaknya. Ia putus asa, dan membiarkan anak-anaknya bertingkah polah semaunya.

“Bu… ibu… kamu di mana. Lihat rumah berantakan gini kok dibiarkan saja. Huh… ini lagi, asbak porselinku pecah jadi tiga… ibu…!!!” teriak Dasman memanggil istrinya.

Oalah…pakne..pakne.. sampeyan baru semenit nyampe rumah sudah komplain rumah berantakan. Aku sejak pagi tadi ngurusi cindhil-cindhil itu… wis… bolak-balik adiknya dibuat nangis. Kalau nggak rebutan mainan ya rebutan remot tipi,” jawab istri Dasman tak kalah ketus.

Di saat kedua orang tuanya bersitegang, kedua anak itu sedang main jambak-jambakan. Sebuah perkelahian yang seru. Dasman segera menghampiri kedua anaknya untuk dipisahkan. Dasman memelototkan mata pada si sulung, mulut dimonyongkan, tanda kalau ia naik pitam. Tetapi meskipun dalam keadaan marah ia tidak pernah ringan tangan kepada anak-anaknya.

Selepas maghrib, Dasman dan istrinya membawa kedua anaknya ke rumah Kiai Markum, yang tinggal di RW sebelah. Tujuan ke rumah Kiai Markum, minta kedua anaknya yang nakal itu disuwuk biar hilang nakalnya. Memang, adat kebiasaan masyarakat di mana Dasman tinggal Pak Kiai menjadi andalan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh orang awam.

Kiai Markum tersenyum ketika mendengar alasan Dasman datang ke rumahnya. Ia berkata kalau ia tidak bisa menyuwuk. Tetapi agar Dasman dan istrinya tidak kecewa, Kiai Markum melakukan interograsi kepada mereka.

“Das, apakah anak-anakmu itu seneng nonton tipi? Maksudku, kamu berdua nggak mendampingi mereka waktu nonton tipi?” tanya Kiai Markum.

“Lah.. nggih mboten to Kiai. Saya nggak punya waktu, seharian saya kerja. Pun dengan istri saya, sibuk dengan bisnis bikin donatnya. Jadi, anak-anak yang sakarepnya sendiri kalau lihat tipi. Emang ada apa to Kiai?” jelas Dasman sekaligus bertanya.

Ngene Das, pengaruh tayangan-tayangan tipi pada tingkah laku anak-anakmu jangan dianggap angin lalu, sepele. Jangan! Sepertinya mereka yang mengelola tipi itu sengaja mencari keuantungan materi semata, nggak menggubris dampak bagi penontonnya. Coba perhatikan, saban hari penonton dicekoki film, sinetron, apa itu namanya… infotainment.. terus.. ada lagi.. apa sih kok aku lalireality show.. isinya hanya adegan kekerasan, berteriak, berantem, kemesuman, membuka aib orang..wis pokoke nggak mutu babar blas!” Kiai Markum menghela nafas.

Diam sejenak.

“Lha..adegan-adegan tersebut direkam oleh otak kita, otak anak-anak kita, otak generasi muda negeri ini. Apalagi pendidikan budi pekerti sudah dilupakan. Kita sebagai orang tua, kalau memberi nasihat malah diledek. Yo ora?” Kiai Markum terbatuk, lalu meminum tehnya.

Nggih, leres Kiai. Seingat saya waktu sekolah dulu, bangsa kita terkenal dengan bangsa yang ramah, yang beretika dan bermoral. Tapi kok sekarang tiada hari tanpa berkelahi, adu jotos, antem-anteman saja. Kampung lawan kampung, supporter bola lawan wasit, polisi melawan mahasiswa bahkan meluas ke tempatnya anggota dewan yang kita subya-subya sebagai wakil kita,” kata Dasman.

“Itulah Das, wakil rakyat kita sepertinya cerdik banget, bisa menyerap aspirasi rakyat yang mereka wakili. Aspirasi berupa kemarahan, tindakan provokatif dan adu domba, saling curiga, “tukas Kiai Markum.

“Mari kita mulai dari keluarga kita untuk memperbaiki moral, mempelajari budi pekerti kembali agar anak-anak kita mempunyai tameng ketika hidup bermasyarakat nanti!” imbuhnya.

“Lha terus pripun, anak-anak saya Kiai? Jadi disuwuk, mboten?” tanya istri Dasman.

Kedua anak itu terlelap di pangkuan ibunya. Kiai Markum menghampiri mereka, umak-umik membaca fatehah.