Yudhistira ke swargaloka

Pandawa tersentak kaget mendengar kematian Kresna. Ketiadaan Kresna di dunia membuat para Pandawa memutuskan ikatan dengan urusan duniawi. Mereka segera melantik Parikesit – cucu Arjuna dari Abimanyu anaknya,  sebagai raja Hastinapura.

Yudhistira dan keempat adiknya – tentu saja bersama dengan Drupadi, meninggalkan istana untuk berziarah ke tempat yang paling suci. Mereka tengah menuju puncak Gunung Himalaya. Tanpa mereka sadari, semenjak mendaki ke puncak Himalaya mereka diikuti oleh seekor anjing. Jalan terjal dan mendaki susah payah mereka  jejaki. Ada daya, usia mereka yang sudah renta nafas tak panjang seperti ketika muda dulu membuat satu persatu anggota Pandawa itu tewas.  Yang pertama kali tewas adalah Drupadi, disusul Sadewa, lalu Nakula, kemudian Arjuna dan yang terakhir Bima.

Kematian istri dan keempat saudara tidak menyurutkan langkah Yudhistira untuk sampai ke puncak gunung, tempat di mana ia yakini sebagai jalan menuju swargaloka. Anjing yang sejak awal mengikuti perjalanan mereka, kini tetap mengikuti langkah-langkah Yudhistira. Anjing itu sangat setia.

Sampai di puncak gunung, Yudhistira disambut oleh Bathara Indra dengan kereta kencana yang ia kendarai sendiri.

“Yudhis, istri dan saudara-saudaramu telah pergi mendahuluimu. Sementara dirimu tertinggal karena kamu terbebani oleh ragamu. Mari, naiklah ke keretaku untuk menuju swargaloka!”

Yudhistira segera melangkah masuk ke dalam kereta diikuti oleh anjing yang setia itu.

Oh.. no… no… hanya kamu saja yang boleh masuk kereta ini. Anjingmu dilarang masuk kereka kencanaku!”

Bathara Indra mengusir anjing itu. Yudhistira keluar lagi dari dalam kereta.

“Jika anjing itu tak boleh masuk keretamu, aku pun tak akan ikut serta. Ia sahabatku paling setia, hingga aku berada di puncak gunung ini!”

Sungguh sifat yang sangat terpuji. Tahukah kau, kawan. Sang Mpu menyertakan seekor anjing dalam  episode ini sebagai gambaran bahwa dharma atawa amal kebajikan adalah satu-satunya hal yang selalu menemani perjalanan hidup seseorang. Anjing itu senang dengan sikap yang diambil Yudhistira. Maka, ia pun melenyapkan diri dari hadapan Yudhistira. Akhirnya, Yudhistira dibawa ke swargaloka.

Suasana swargaloka sangat indahnya. Namun, betapa terkejutnya ia ketika melihat Duryodana berada di swargaloka duduk manis di singgasana yang agung. Ia sapukan pandangan ke setiap sudut swargaloka, ia tak menemukan saudara-saudaranya. Bima dan adik-adiknya, juga Drupadi tak ada di swargaloka.

Yudhistira hatinya mendidih karena marah kepada para bathara. Kenapa orang sejahat dan sebejat Duryodana dimasukkan ke dalam swargaloka? Sungguh tidak adil! Yudhistira ingat bagaimana Duryodana mempermalukan Drupadi dengan menyeret dan mencoba menelanjanginya di depan banyak orang.

Tanpa ia duga datanglah Bathara Narada menghampirinya.

Perkencong-perkencong waru doyong…. e..e… ngger cah bagus. Apa yang kamu batin barusan tidak benar. Jangan ngomong keburukan Duryodana. Ia bisa berada di swargaloka sini karena dharmanya. Ini swargaloka ngger, tak ada keburukan dan kebencian di sini. Lepaskan rasa kemanusiaanmu yang masih menempel di ragamu itu!”

Yudhistira masih belum bisa melepaskan rasa kemanusiaannya, lalu berkata kepada Bathara Narada.

“Wahai, Bathara Narada. Duryodana adalah seburuk-buruknya manusia di mataku. Orang seperti itu bisa masuk ke swargalokamu. Lalu, di swargaloka tingkat mana engkau letakkan saudara-saudaraku, Drupadi istriku dan Karna saudara tuaku, ksatria-ksatriaku yang gagah berani? Tak satu pun aku melihat mereka berada di swargaloka.”

Yudhistira menangis.

“Di mana mereka semua? Sekarang ini aku seharusnya berada di antara mereka. Di mana Karna? Akulah yang menyebabkan Karna terbunuh di medan perang, karena ketidaktahuanku kalau ia saudaraku sendiri. Waktu Karna terbunuh, ibu Kunti memintaku melakukan upacara persembahan untuk Karna. Di situlah aku baru tahu, Karna adalah anak Kunti juga. O…. bathara… aku tak mau tinggal di swargaloka ini. Tak ada gunanya, jika tanpa mereka!”

“Baiklah…. baiklah.. ngger. Nekjika kamu ingin tinggal bersama saudara-saudaramu… ya… ya… kamu boleh pergi dari tempat ini. Ayo lekas… pergilah ke tempat mereka sekarang juga!”

Bathara Narada memanggil pelayanannya untuk mengantarkan Yudhistira menemui saudara-saudaranya.

Jalan yang ditunjukkan oleh pelayan itu gelap dan berliku. Bau anyir darah dan busuk menusuk hidung Yudhistira. Binatang-binatang yang aneh berkeliaran di jalanan, siap menghisap darah siapa pun yang masuk ke dalamnya.

“Masih berapa jauh aku bisa bertemu dengan saudaraku, pelayan?”

Pelayan itu memandang Yudhistira, dan berkata,”Jika kamu ngeri dengan tempat ini, kita bisa kembali ke swargaloka. Pripun?”

Yudhistira bimbang. Kengerian suasana di tempat itu serta bau busuk yang semakin menusuk indera penciumannya membuat Yudhistira ingin kembali ke swargaloka. Namun, samar-samar ia mendengar suara-suara dari kejauhan.

“Oh, mas Yudhis… Tinggallah barang sejenak bersama kami di sini. Kehadiranmu di tengah-tengah kami akan membawa kesenangan karena kami bisa sedikit bernapas lega di tengah deraan siksa yang amat menyakitkan ini. Wahai anak Kunti, please…. sebentar saja ikut kami di bawah kerak bumi ini!”

Yudhistira berjalan ke arah asal suara-suara yang memilukan itu. Ia seperti mengenal suara-suara tersebut. Ia menyaksikan makhluk-makhluk berwajah aneh. Ia mundur selangkah.

“OMG! Siapakah kalian sebenarnya sehingga meratap pilu seperti ini?”

“Aku Karna, saudaraku!

“Aku Bima a.k.a Werkudara, mas.”

“Gue Arjuna!”

“Aku Nakula, mas!”

“Aku Sadewa!”

“Aku Drupadi, honey!”

“Aku anak-anak Drupadi.”

Semua makhluk aneh tadi memperkenalkan dirinya, dengan suara pilu dan menyayat hati. Yudhistira sangat berduka menyaksikan saudara-saudaranya tersiksa seperti itu.

“Wahai Bathara, dosa apakah yang dibuat oleh saudara-saudaraku hingga mereka berada di tempat terkutuk ini. Lalu, perbuatan baik macam apa yang dilakukan Duryodana hingga ia duduk manis di swargaloka sana? Sungguh tidak adil!”

Yudhistira menoleh ke arah pelayan Bathara Narada dan berkata,” Kembalilah kepada junjunganmu. Aku akan di sini tinggal bersama mereka! Aku memilih tinggal di neraka, asal bersama orang-orang yang aku kasihi.”

Tak sampai satu detik, muncullah Bathara Indra dan Bathara Narada di hadapan Yudhistira. Bersamaan dengan itu suasana neraka berubah menjadi swargaloka nan asri bin nyiamik tenan.

Ocey…. kamu lulus ujian. Keteguhan hatimu telah membuktikan itu. Namun, kami perlu memberitahumu, aturan yang berlaku di alam akherat ini. Bahwa semua arwah ksatria kudu tinggal sementara di neraka selama sepertiga belas hari dalam skala akherat untuk merasakan pedihnya siksa neraka.”

Syahdan, setelah melalui sepertiga belas hari di neraka, Yudhistira bertemu dengan para saudaranya yang lain, tak terkecuali dengan Karna di swargaloka. Di sana mereka menemukan kedamaian dan kebahagiaan sejati.

Tancep kayon.