Surat Pendek

Shalat maghrib kemarin makmum saya Gino dan Meksa. Entah kenapa Meksa – si pakar autocad di Padeblogan, buru-buru keluar mushola, mungkin ia melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai. Tinggal saya dan Gino, OB kesayangan banyak orang. Masing-masing sibuk dengan doanya sendiri. Setelah itu, kami bersalaman.

“Tumben Kyaine tadi membaca surat agak panjangan. Biasanya di rakaat pertama qulhu lalu an-nas.”

Weladalah, awakmu kok sampai ngapalin gitu No. Jadi malu aku.”

“Malunya ya jangan ke saya to Kyaine. Sama gusti Allah. Jangan-jangan malaikat pencatat amal suka bergumam : surat itu lagi.. itu lagi..”

Inggih pak Ustad Gino!”

“Kyaine malah ngenyek saya. Tapi ngomong-ngomong saya penasaran dengan surat panjang tadi Kyaine.”

“Panjang apa to ya. Itu masih pendek. Lah wong cuma tiga ayat, masih panjangan qulhu kan?”

Ya, pada rakaat pertama saya membaca surat Al ‘Asr, dan pada rakaat kedua surat favorit saya qulhu. Favorit di sini artinya sangat sering saya gunakan pada waktu shalat apa pun. Pendek dan mudah dihapalkan. Apalagi kalau “terpaksa” didaulat jadi imam pada shalat maghrib atau isya yang bacaan rakaat pertama dan kedua mesti disuarakeraskan (saya kapok jadi imam shalat subuh semenjak “diprotes” seorang makmum karena tidak memakai doa qunut).

Pripun Kyaine?”

“Apanya yang pripun?”

“Surat yang panjang tadi loh.”

“Pendek”

Nggih, pendek. Manut kemawon, ikut saja deh apa kata Kyaine.”

“Tapi bukannya kamu seneng kalau imam baca surat-surat pendek?” 

Leres. Betul Kyaine. Apalagi kalau pas shalat taraweh, imam yang bacaan suratnya pendek-pendek jadi idola jamaah.”

“Itulah kita sebagai manusia No. Maunya serba nggak mau rugi. Sama gusti Allah saja main hitung-hitungan, terutama masalah waktu. Kita maunya buru-buru. Bukan buru-buru memenuhi panggilan shalatnya, tapi malah mempercepat saat bermunajat kepadaNya. Kebangetan bukan?”

Nggih, leres niku. Padahal gusti Allah kalau paring berkah, memberi berkah nggak terhitung banyaknya, sak pol-polnya to Kyaine? Tapi banyak orang yang tidak menyadari bahwa apa yang didapatkan itu adalah suatu berkah”

Inggih pak Ustad Gino!”

Mboh ah. Kyaine kalau diajak diskusi serius kok malah ngece.”

“Tapi sing mbok omongkan itu bener kok, No. Tapi menurutku, berkah yang paling sering kita sia-siakan adalah waktu. Coba saja, dalam sehari kita punya waktu dua puluh empat jam. Lalu, yang benar-benar kita manfaatkan untuk kegiatan yang produktif berapa jam coba?”

“Termasuk saya dong, Kyaine. Saya yang cuma OB kerjanya nggak produktif, bukan?”

“Ya nggak begitu mestinya. Kamu mulai kerja jam tujuh, beres-beres dan menyiapkan minuman para cantrik selesai jam sembilan. Selanjutnya kamu menunggu saja, kalau ada yang memerlukan tenagamu. Lalu jam satu kamu siapkan kopi, selesai nganggur lagi. Sore kamu kukut-kukut, bereskan gelas kotor dan mencucinya, lalu bersih-bersih ruanganku, terus pulang. Supaya kamu lebih produktif lagi, saat-saat kamu nganggur mbok belajar komputer misalnya. Itu kan nilai tambah buat kamu. Lha, kalau kamu nggak mau meningkatkan kompetensimu, sak umur-umur akan jadi OB terus, to? Itu bisa dikatakan, kamu termasuk orang yang rugi. Merugi, malah.”

“Wah, omongannya Kyaine gurih tenan. Kompetensi niku panganan napa, Kyaine?”

“Panganan gundhulmu apek!”

Lha kok saya jadi ingat cerita mBak Yaya nggih?”

“Cerita yang mana, No?”

“Itu loh, ketika mBak Yaya ikutan workshop UKM. Katanya, pengajarnya bilang begini : semua bisnis kita akan selalu merugi. Sekali-kalinya kita untung, saat kita melakukan salah satu dari yang berikut yaitu percaya sesuatu, berbuat kebaikan, saling mengingatkan dan saling menyabarkan.”

“Lha..lha… bukannya itu yang terkandung dalam surat yang kamu bilang panjang tadi? Wah..wah… aku makin gumun dengan logika berpikirmu!”

Mudah-mudahan saya dan Gino tidak termasuk orang-orang yang merugi, setidaknya telah saling mengingatkan.