Surat dari Sabai nan Aluih

Sahabatku,

Salam sejahtera. Aku tidak yakin surat ini akan cepat sampai di tanganmu. Gempa kemarin telah meluluhlantakkan sebagian besar kampung halamanku (ah, kamu pasti lebih tahu karena televisimu pasti tidak henti-hentinya menayangkan bencana ini). Belum juga kering kuburan ayahku, bencana itu datang begitu saja begitu cepatnya menghancurkan segalanya: rumah,  jalan, jembatan, sawah-ladang, ternak, dan sanak-saudara. Komunikasi dengan dunia luar terputus. Sempurnalah keterasingan, antara ada dan tiada.

kampuang nan jauh di mato
gunuang sansai baku liliang
takana jo kawan, kawan nan lamo
sangkek basu liang suliang
panduduknya nan elok nan
suko bagotong royong
kok susah samo samo diraso
den takana jo kampuang takana jo kampuang
induk ayah adik sadonyo
raso mangimbau ngimbau den pulang
den takana jo kampuang

Kamu tahu, aku tidak bisa berpangku tangan menyaksikan penderitaan saudara sekampung-sehalamanku. Bersama dengan Nurbaya dan Rahmi, kami bergotong-royong membantu mereka dengan kemampuan yang kami miliki. Kamu percaya kan, kami adalah manusia-manusia tegar yang tidak terlarut terlalu lama dalam penderitaan? Mengharapkan bantuan yang diatur oleh pamong praja bagai pungguk merindukan bulan, penuh birokrasi dan prosedur yang berbelit-belit.

Aku yakin, tidak lama lagi kami akan segera bangkit untuk menata penghidupan kami kembali.

Salam hangat dari Padang Tarok,

Sabai nan Aluih