Tersebutlah seorang anak muda bernama Sumantri. Ia berasal dari desa yang masuk dalam tlatah kerajaan Mahespati yang saat itu dipimpin oleh Prabu Arjunasasrabahu. Di desanya, ia terkenal sebagai pemuda yang mempunyai ketrampilan memanah dan punya strategi ketika berkelahi dengan teman sebanyanya. Ia biasa dipanggil Mas Mantri oleh kawan-kawannya.
Dengan restu kedua orang tuanya, ia bermaksud ngèngèr, mengabdi di Istana Mahespati. Karena ketrampilannya itulah, dengan mudah ia masuk istana, bahkan dalam hitungan waktu yang cukup singkat ia mempunyai karier yang cemerlang dan segera saja kehidupannya menjadi mapan. Entah apa memang sudah begitu jalan hidupnya, pergaulan Mas Mantri tidak seperti anak desa lagi. Teman-temannya adalah para pejabat dan politisi, baik yang masuk golongan koalisi maupun yang opisisi. Kelak ia mendapatkan jabatan sebagai seorang patih dan dikenal sebagai Patih Suwanda.
Arkian, ketika Mas Mantri sedang memanasi mobil barunya, ia kedatangan seorang tamu yang tak lain adiknya sendiri, yang bernama Sukrasana. Bentuk Sukrasana tidak sama dengan Mas Mantri yang ganteng dan bertubuh atletis, Sukrasana ini buruk rupa karena ia setengah raksasa. Mas Mantri terkejut alang-kepalang. Mas Mantri merasa, kedatangan adiknya akan mempermalukan dirinya. Apa kata para koleganya nanti jika mengetahui kalau ia punya saudara buruk rupa. Mas Mantri mengatur siasat.
“Sukrasana, kamu jangan ke sini. Lebih baik kamu segera pulang kembali ke desa!”
“Tapi aku kangen padamu Mas. Biarkan barang sehari dua aku ikut menikmati keberhasilanmu di istana ini.”
“Jangan… segeralah pulang dik. Bapak dan ibu pasti mencarimu.”
“Nggak kok. Aku sudah pamit pada mereka, dan diizinkan pergi menengokmu Mas. Wuih.. mobilnya baru ya Mas. Boleh dong aku diajak muter-muter kota?”
Mas Mantri kewalahan membujuk adiknya supaya pulang ke desa, tetapi Sukrasana bersikukuh ingin tetap ikut Mas Mantri. Ia memutar otak supaya adiknya mengurungkan niatnya tinggal bersamanya.
Sebuah pesan pendek masuk ke hape Mas Mantri, dari seorang gadis cantik yang kemarin ditembak hatinya oleh Mas Mantri, tetapi gadis itu belum memberikan jawaban. Dan jawaban itu ada di pesan pendek yang dikirimkan kepada Mas Mantri. Hmm, siapa sih yang tak sudi bisa menjadi suami Citrawati, gadis paling cantik se-Mahespati.
Ketika membaca pesan itu, Mas Mantri mengerutkan kening. Tetapi tidak lama, ia tersenyum dan berkata kepada adiknya.
“Oh iya, begini saja. Kamu boleh ikut mas tinggal di sini asal kamu bisa memindahkan Taman Sriwedari ke Mahespati. Oke, brother?”
Sebuah siasat licik Mas Mantri. Ya, sebenarnya memindahkan Taman Sriwedari ke Mahespati adalah syarat yang diminta oleh Citrawati kepada Mas Mantri yang dikirim melalui pesan pendeknya. Sebuah syarat untuk bisa diterima cintanya. Kalau dipikir, itu sebuah syarat yang ganjil, tidak masuk akal. Tapi Mas Mantri sadar adiknya yang setengah raksasa itu sesungguhnya sakti mandraguna.
“Ocey kakak… aku bersedia memindahkan Taman Sriwedari ke Mahespati. Tunggulah, nanti malam aku akan memindahkannya ke pusat kota!”
Mas Mantri tersenyum. Sukrasana segera pamit untuk pergi ke Taman Sriwedari. Ketika sampai di Taman Sriwedari, Sukrasana memejamkan mata memohon kepada para dewa untuk sudi membantunya memindahkan Taman Sriwedari. Permintaan Sukrasana dikabulkan oleh para dewa. Maka dengan dibantu kekuatan dewa-dewa yang ada di kahyangan, Taman Sriwedari terangkat, terbang, dan pindah ke pusat kota Mahespati dalam sekejap saja.
Mas Mantri yang menyaksikan kenyataan itu senang bukan main. Segera saja ia menjemput gadis pujaannya untuk menyaksikan bahwa Taman Sriwedari sudah ada di Mahespati. Keindahan Taman Sriwedari membuat takjub semua orang termasuk Citrawati sang pujaan Mas Mantri. Ketika semua orang mengagumi keindahan Taman Sriwedari, Sukrasana menyeruak kerumunan orang dan berkata kepada Mas Mantri.
“Mas Mantri, Taman Sriwedari sudah aku pindahkan ke sini sesuai keinginanmu. Sekarang, aku boleh tinggal bersamamu ya?”
“Hey, siapa kamu raksasa jelek? Aku tidak mengenalmu. Silakan pergi dari sini!”
“Loh, piye to iki. Aku Sukrasana adikmu, mas!”
“Tidak… aku tidak punya adik sepertimu. Pergi atawa aku panah tubuhmu!”
Mas Mantri merentangkan busurnya. Anak panah siap melesat menembus dada Sukrasana. Sejatinya, Mas Mantri hanya untuk menakut-nakuti adiknya itu supaya segera pulang ke desa. Menyaksikan adegan tersebut banyak orang yang bertanya-tanya apa gerangan yang sesungguhnya terjadi antara Mas Mantri dan Sukrasana. Benarkah mereka kakak beradik?
“Aku nggak mau pergi mas. Pokoknya aku ingin ikut kamu. Mas Mantri… please…!”
Sukrasana menangis. Tangisannya terdengar pilu. Tangisan itu membuat dada Mas Mantri bergolak, sehingga anak panah yang sudah siap melesat itu terlepas dan menghunjam dada Sukrasana.
Sukrasana menemui ajalnya.