Skak

Di masa bocah dulu, soal mainan, bapak tidak pernah membelikannya untuk keempat anak lanangnya. Saya akui bapak sangat kreatif membikinkan mainan untuk kami. Misalnya ketika sedang musim tembak-tembakan, bapak membuat pistol mainan dari kayu. Atau ketapel dari batang jambu yang terkenal liat itu. Kami menyaksikan dan kami meniru apa yang dibuatkan bapak tadi. Tak sekedar diraut, bahkan sampai diamplas dan dicat.

Pada suatu hari ketika bapak pulang kerja – ia pulang seringnya malam hari – bapak mengelap lantai semen ruang tamu rumah kami. Listrik PLN yang baru sebulan kami nikmati, menerangi remang-remang ruang tamu. Mungkin karena waktu itu pasokan listrik PLN masih menggunakan 110 Volt, cahaya lampu tidak begitu terang.

Setelah lantai kering, bapak membawa penggaris dan pensil. Ia duduk di lantai dikelilingi oleh keempat anak lanangnya, tidak ada yang berani bertanya apa yang akan dilakukan bapak. Kami hanya mengira-ira ketika bapak menggoreskan pensil di lantai membuat gambar berbentuk bujur sangkar. Garis demi garis dibuat di dalam bujur sangkar tersebut dan akhirnya bujur sangkar tersebut terbagi menjadi kotak-kotak kecil sebanyak 64 bujur sangkar.

Malam itu hanya sampai di situ saja yang dikerjakan oleh bapak. Dan kami bubar, menuju tempat tidur. Bapak leyeh-leyeh di kursi tamu sambil mendengarkan berita RRI.

Goresan bujur sangkar 8 X 8 kotak itu terbiarkan sampai dengan di hari Minggu pagi, hingga bapak duduk kembali di sana sambil membawa kaleng cat dua warna: putih dan biru, beserta kuas kecil. Bapak mulai mewarnai kotak demi kotak, warnanya selang-seling biru dan putih. Setelah jadi, mirip corak pakaian Werkudara!

Ia berpesan kepada kami agar jangan menyentuhnya karena cat masih basah. Kami patuh. Saat itu kami tidak yakin kalau bapak sedan membuat sebuah papan catur, karena seumur-umur kami belum pernah memegang bidak catur.

Ternyata benar. Esoknya, ketika pulang kantor bapak membawa mainan catur. Ia masih memakai seragam kantornya, saat membuka kotak papan catur dan mengeluarkan bidak catur dan menyusunnya di papan catur biru-putih bikinan bapak.

Sejak saat itu, sepulang kantor atau pas libur bapak mengajari kami bermain catur. Bahkan dengan ‘gaya sombongnya’ bapak bermain tanpa menggunakan Patih, dan tentu saja kami tetap saja kalah.

Rasa penasaran kalau bapak pintar main catur terjawab beberapa tahun lalu, ketika saya ngobrol dengan bapak di teras rumah. Ia belajar dari teman-temannya di ruang tunggu supir.