India #6: Mahakurawa

Judul: Mahakurawa | Parwa I: Cakra Manggilingan (502 hal) | Parwa II: Kaliyuga (651 hal) • Penulis: Anand Neelakantan • Penerbit: Javanica (2019)

Ada ratusan atau bahkan mungkin ribuan versi kisah Mahabharata, dan versi yang paling saya suka adalah Mahakurawa, kisah Mahabharata dari sudut pandang Kurawa. Saya meyakini, sejahat-jahatnya orang, ia masih memiliki sisi baik sebab hati nurani yang ada di setiap orang akan menuntunnya untuk berperilaku atau bersikap baik. Kurawa yang dalam kisah-kisah pewayangan Nusantara mendapatkan cap sebagai pihak yang hitam, dan Pandawa sebagai pihak yang putih. Sebaik-baiknya Pandawa, mereka juga memiliki sifat-sifat buruk.

Pandawa sengaja menggunakan panggilan “Dur” untuk sebagian sepupunya yang masuk klan Kurawa, seperti Suyudana menjadi Duryudana, Susasana menjadi Dursasana atau Susilawati menjadi Dursilawati. “Dur” berarti orang yang tak mampu mengendalikan kekuasaan atau kekuatan. Sabaliknya, Suyudana adalah seorang pangeran yang begitu jujur, pemberani, punya kemauan diri, dan sanggup memperjuangkan apa yang diyakininya. Ia juga tak pernah percaya kalau para Pandawa merupakan keturunan dewata.

Di novel ini saya terkesan dengan kisah Karna dan Ekalaya, kisah yang selalu saya cari versi mana yang masuk akal. Anand Neelakantan menjawa rasa penasaran saya terhadap dua tokoh wayang yang saya kagumi itu.

Kepribadian Suyudana mengejawantah ketika ia menjadikan Karna sebagai Raja Awangga pada saat paling kritis dalam hidupnya. Karna dipermalukan oleh Guru Dorna dan para Pandawa karena kastanya. Karna adalah seorang suta, kasta kusir kereta. Suyudana, yang masih menjadi Pangeran Kurawa, menentang paham kolot bahwa nasib manusia diatur berdasarkan tatanan kasta, alih-alih ia mengangkat seorang suta sebagai raja dan ia lakukan tanpa pamrih.

Rahasia besar tentang Karna dibuka sendiri oleh Kunti. Hal ini terjadi pada saat Widura berkunjung ke kakak iparnya itu.

“Dia bukan anak suta.” Widura masih diam, menunggu Kunti terus berbicara. “Karna adalah putraku,” ujar Kunti sambil terisak. Dia terancam tersedak air matanya yang tertahan.

Widura berdiri, berpegangan pada tiang bamboo di dekatnya. Dunia sudah jungkir-balik. Lelaki yang dihina karena kastanya oleh semua orang adalah putra sulung Kunti? “Bagaimana itu bisa terjadi?” Kabar itu luar biasa sekaligus mencengangkan.

“Aku melahirkannya sebelum menikah dengan Pandu. Dia anak jadahku. Sungguh aib besar bagi seorang putri yang memiliki anak sebelum menikah. Umurku baru enam belas tahun waktu itu. Lalu kuberikan Karna pada Ibu Gangga. Dalam sebuah keranjang Jerami, kutinggalkan dia hidup atau mati pada aliran Gangga. Setiap hari aku berdoa untuknya, untuk keselamatan dan kebahagiaannya.”

***

Persentuhan Suyudana dengan Ekalaya, saat keduanya masih kanak-kanak. Ekalaya adalah seorang nisada (nama suku pemburu, kaum yang dilarang untuk disentuh), ia sudah terkesan oleh sikap Suyudana. Pada saat ia kelaparan, Suyudana memberikan buah mangga kepadanya. Ekalaya tak tahu mengapa Pangeran Suyudana berlaku baik padanya.

Ekalaya membuat patung Dorna dari tanah liat dan meletakkannya di sebuah lapangan kecil. Setiap hari ia bersembah pada patung itu sebelum berlatih selama tiga jam, kemudian mengintip latihan para pengeran. Dalam benaknya, Dorna adalah ayah yang tak pernah dikenalnya. Meski ia membenci cara sang guru memperlakukannya, kekagumannya atas prajurit hebat itu dibarengi rasa hormat. Ia iri pada Arjuna, yang sepertinya merebut kasih saying pahlawannya. Dorna sangat menyanjung anah tengah Pandawa itu. Orang lain yang sepertinya paling dia kasihi hanyalah anak kandungnya, Aswatama. Namun dari keduanya, jelaslah Arjuna yang paling disukai Dorna. Ekalaya melihat Aswatama tidak sepercaya diri dan sepongah Arjuna. Ayahnya pun kerap meremehkan Aswatama, membanding-bandingkannya secara tidak adil ketika Aswatama bertanding melawan Arjuna. Aswatama sangat ingin dipuji ayahnya, tapi hanya dapat setengah-setengah.

Suatu pagi, Ekalaya tak sengaja memergoki Pangeran Suyudana. Ia tiba di tempat latihan dengan harapan dapat memunguti anak panah yang ditinggalkan, yang dapat digunakannya untuk latihan sendiri. Ia terkejut mendapati seorang lelaki jangkung dan kekar sudah berada di sana bersama seorang gadis cantik, berbicara dengan Suyudana dan dua temannya. Mereka sudah tiba sebelum Ekalaya dan berlatih gada. Dilanda penasaran, Ekalaya mulai datang ke tempat latihan sedini mungkin. Hampir sebulan lamanya lelaki jangkung itu datang melatih Suyudana, Susasana, dan Aswatama menggunakan senjata. Gadis muda yang mengikutinya sungguh membuai pandangan. Jantung Ekalaya berdegup kencang tiap kali gadis itu menoleh ke arah hutan. Akhirnya ia tahu lelaki itu bernama Balarama, pemimpin Yadawa dari Dwarawati, dan gadis itu adiknya, Sembadra.