Sing salah seleh, ngalah luhur wekasane

Di akhir artikel Pembantaian di Rarawagede Karawang, 1947 saya menutup dengan paragraf:

Den Haag, 14 September 2011.

Tepat di HUT Kabupaten Karawang, 14 September 2011 hakim pengadilan sipil di Den Haag, Belanda, pada sidang rabu sore 14 September 2011 waktu setempat akhirnya mengabulkan gugatan atas pembantaian di Rawagede Karawang.

Setelah butuh lebih dari dua bulan mempelajari pledoi dari pihak penggugat dan tergugat, majelis hakim menyatakan Pemerintah Kerajaan Belanda harus memberi ganti rugi terhadap tujuh janda korban pembantaian massal pasukan Belanda di Desa Rawagede Karawang pada tahun 1947 atawa semasa berkecamuknya perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

~oOo~

Kemarin, 09 Desember 2011 ada berita menggembirakan dari Rawagede Karawang, akhirnya Pemerintah Belanda melalui Duta Besarnya Tjeerd de Zwaan, akhirnya meminta maaf atas kasus pembantaian yang dilakukan tentara Belanda di Rawagede Karawang, pada 09 Desember 1947. Para keluarga korban – mereka yang mempertahankan kemerdekaan Indonesia – mendapatkan permintaan maaf resmi dari negara Belanda itu setelah menunggu selama lebih dari enam puluh tahun.

Konon kabarnya,  sebuah pengadilan di Belanda memerintahkan pemerintah Belanda untuk membayar kompensasi kepada keluarga korban tragedi Rawagede yang nilainya 20.000 euro kepada keluarga korban.

Hmm, sapa sing salah seleh, sing ngalah luhur wekasane. Siapa yang salah (akan) menanggung akibatnya, sedangkan siapa yang mengalah kelak di kemudian hari akan mendapatkan keluhuran.

Seperti kejadian yang sudah-sudah di negeri ini, akan banyak calo bergentayangan untuk mencairkan kompensasi sebesar 20.000 euro tersebut. Para calo akan berdalih membantu keluarga korban, namun yang terjadi (biasanya) mereka yang diuntungkan. Korban semakin buntung. Ingat-ingat saja pitutur luhur para sesepuh kita: sapa sing salah seleh. Itu!

~oOo~

Note: Tulisan ini untuk menyemarakkan Gerakan 30 Hari Menulis (G30HM). Minggu 2: #3