Bersamaan dengan Air Show itu saya menulis catatan pribadi berkenaan dengan ulang tahun Dr. BJ Habibie yang kelima puluh dan kemudian dimuatkan dalam bukunya.
Dengan ini pun, saya tidak mengistimewakan dia. Saya memberikan kesempatan yang sama kepada semuanya. Tetapi nyatanya, Habibie yang bisa menangani.
Di tengah suasana ini, nampak-nampaknya memang seperti ada yang curiga terhadapnya, semata karena ia didikan Jerman. Orang lain seperti berpikir bahwa Habibie itu “akan mempengaruhi Pak Harto”, karena ia pandai. Orang itu tidak tahu bahwa Habibie selalu meminta nasihat saya. Habibie tidak menempatkan diri sebagai orang yang paling tahu. Setiap memberikan laporan, sampai berjam-jam lamanya ia bersama saya karena ia ingin menangkap pendapat saya, apa filsafat saya. Dan setelah ia menangkap pendirian saya, filsafat saya, ia mengembangkannya sesuai keahliannya sesuai keahliannya sebagai insinyur.
Saya patut mengingatkan kembali bagaimana saya bertemu dengan dia waktu ia masih kecil untuk pertama kali di Makasar dulu itu, seperti sudah saya ceritakan di muka. Bagaimana saya bertemu kembali dengan dia dua kali di Jerman waktu ia masih sekolah dan sesudah ia bekerja.
Dedikasi BJ Habibie pada negara dan bangsa sungguh besar. Ia berani mengobarkan kepentingannya sendiri. Pada waktu saya memanggilnya, dan pada mulanya ia ditampung di Pertamina, saya tanyakan lagi, apakah benar ia masih bersedia untuk memberikan pengabdiannya kepada Indonesia? Dia ternyata tetap pada pendiriannya, bersedia. Padahal waktu itu di Jerman dia sudah digaji 10.000 dollar tiap bulan (berarti 10 juta rupiah waktu itu), sedangkan di sini dia hanya mendapat 250.000 rupiah! Jumlah itu untuk seorang menteri kita waktu itu sudah banyak.
Memang waktu itu saya sudah punya rencana, dan rencana itu bukan karena kedatangan Habibie. Saya sudah menggariskannya sejak bicara di Klewer. Waktu itu saya menentukan strategi pembangunan nasional, strategi pembangunan jangka panjang dan jangka pendek. Maka saya mengetahui, kapan saya membutuhkan orang-orang yang bisa turut menangani pembangunan, sesuai dengan tingkatan-tingkatannya. Fase industri pertanian, industri yang mendukung pertanian, industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku, industri bahan baku menjadi bahan jadi.
Bisa jadi pihak yang belum mengenal Habibie meragu-ragukan dedikasinya sebagai seorang cendikiawan. Dia memang mendapat didikan Barat dan telah berhasil. Saya dengar ada orang yang bertanya, “Siapa yang menyodorkan kepada Pak Harto?” Diperkirakannya orang Barat, intelejen, dan sebagainya. Padahal saya sendiri yang mula-mula mengenalnya, lalu menanyainya dan kemudian mengajaknya.
Waktu itu saya katakan kepada Habibie, “Boleh jadi nanti banyak orang yang iri kepadamu karena kamu memikul tugas yang penting. Hendaknya kamu sudah siap mental dari sekarang.” Dia jawab waktu itu, “Sanggup, Pak.”
Saya kemukakann kepadanya, “Di Indonesia ini kami akan menghadapi tantangan. Dan kamu tidak akan dipercaya begitu saja oleh orang yang tidak mengerti. Apa kamu sanggup?”
“Sanggup, Pak,” jawabnya.
Jiwa ketimuran Habibie masih ada. Ia selalu meminta nasihat saya mengenai pegangan hidup. Juga ia meminta foto saya dan saya memberikan foto yang ia pilih sendiri, foto saya waktu mengenakan pakaian Jawa.
Saya berikan dengan wejangan dalam bahasa Jawa “Wong sing tansah eling , percaya mituhu marang kang murbeng dumadi, iku dadi oboring urip kang becik, sajatining becik.”
(Jadi, kita selalu harus eling, takwa kepada Tuhan, beriman. Jangan sampai berilmu, tetapi meninggalkan iman).
Ia pasang potret itu di kamar kerjanya. Lalu ia buat juga copynya dan kemudian dicetak di dalam bukunya.
Dia itu menganggap saya sebagai orang tuanya sendiri. Kelihatan sekali ia tidak mau berbuat salah. Ia selalu meminta petunjuk saya. Filsafat yang saya berikan dicatatnya. Saya mengerti, filsafat perjuangan itu merupakan bekal yang tidak kecil baginya selama ia bekerja dan di masa pensiunnya nanti.
Sementara itu saya berusaha untuk berlaku adil. Artinya, semua pembantu saya memang harus saya beri kesempatan yang sama. Juga harus saya perlakukan sama.
Saya berusaha untuk tidak menonjolkan seseorang, untuk tidak menunjukkan si A sebagai anak emas, atau si B sebagai anak jauh. Tidak! Tetapi bagaimanapun juga, orang yang diberi kesempatan untuk berprestasi dan nyatanya ia bisa berprestasi, memang itu harus diakui juga. Seperti Sudharmono, Moerdiono, Ginanjar, diketahui orang bahwa mereka diberi kesempatan untuk berprestasi.
~oOo~
Artikel di atas saya kutip dari Bab 86. Pesan Saya: Harus Selalu Eling halaman 455-457 buku Soeharto Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, sebuah Otobiografi seperti dipaparkan kepada G. Dwipayana dan Ramadhan KH. Buku ini diterbitkan oleh PT Citra Lamtoro Gung Persada (1989).
~oOo~
Note: Tulisan ini untuk menyemarakkan Gerakan 30 Hari Menulis (G30HM). Minggu 2: #4