Libur panjang 3 hari ini saya manfaatkan untuk membaca beberapa buku yang masih teronggok di rak yang belum saya baca sama sekali. Jika kemarin saya membagi kisah tentang Gadis Kretek, kali ini saya ceritakan isi buku yang berjudul The Sinden karya Halimah Munawir yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama setebal 145 halaman.
Dalam sinopsis yang terdapat di cover belakang tertulis: Seorang sinden terkenal memiliki putri cantik rupawan, namanya Dingklik Waranggana rambutnya mayang terurai tubuhnya molek aduhai suaranya merdu buluh perindu namun selalu bahaya mengintainya jika bukan diburu untuk dijadikan selir maka jadi tumbal pesugihan jembatan pelarian pun menjadi jalan keluar berpisah dengan ibu tercinta dan manggung di desa-desa tapi di setiap pertunjukan pesona Waranggana selalu memabukkan mengundang keceriaan sekaligus mara bahaya untuk datang nyawa pun menjadi taruhan orang-orang tersayang menjadi ganjaran hingga akhirnya pelarian dihentikan dan hidup mesti diperjuangkan.
Judulnya saja yang berbau bahasa Inggris, namun isinya asli berbau Jawa. Jika membaca sinopsinya, nasib Dingklik Waranggana sangat tragis ya? Padahal keberuntungan selalu menghampri Dingklik Waranggana saat ia dalam bahaya. Bahkan nasibnya seperti di negeri dongeng.
Mau tidak mau, ketika membaca novel The Sinden ini saya membayangkan wajah Dingklik Waranggana seperti PWN – pemeran Srintil dalam film Sang Penari (coba perhatikan cover buku tersebut, gelung dan lehernya mirip punya PWN, bukan?).
Adalah Nyi Inten sinden dari Desa Sukomaju yang dikawin oleh seorang dalang. Dalam honey moon mereka di Pulau Bali, Nyi Inten merengek kepada suaminya untuk dibelikan sebuah dingklik di pasar Sukowati. Sesungguhnya, dingklik tersebut bukan sembarang tempat duduk, karena begitu Nyi Inten menduduki dingklik itu saat nyinden, timbul auro dan pesona Nyi Inten yang membuat kagum orang yang menyaksikannya ketika nyinden. Kebahagiaan rumah tangga mereka tak berlangsung lama, karena suatu ketika suami Nyi Inten kepergok petugas ronda ketika sedang ngeloni seorang janda, lalu menghilang entah ke mana. Ketika itu Nyi Inten sedang mengandung jabang bayi Waranggana yang baru berusia dua bulan.
Dalam keadaan mengandung seperti itu, Nyi Inten tetap memenuhi undangan nyinden. Pun ketika Waranggana sudah lahir, ia tetap nyinden. Nyi Inten termasuk sinden yang ‘lurus’, ia nggak mau diantar-jemput lelaki yang ujung-ujung diajak tidur. Jika ia sedang nyinden, Waranggana diasuh oleh pamannya yang bernama Jarok.
Saat Waranggana sudah mulai bisa berbicara, Nyi Inten mulai mengajari Waranggana untuk nembang dan ketika Waranggana bisa baca-tulis diajarinya notasi aneka tembang macapat. Nyi Inten sangat berharap kepada Waranggana untuk menjadi sinden yang terkenal. Namun angan-angan itu buyar, ketika pada suatu hari Jarok tergopoh-gopoh memberitahu Nyi Inten kalau penguasa desa yang baru membutuhkan tumbal anak gadis untuk pembangunan jembatan dan untuk dijadikan selir. Maka, Nyi Inten minta kepada Jarok untuk menyelematkan diri bersama Waranggana.
Dalam pelariannya, Jarok dan Waranggana bertemu Parto yang sedang mengemudikan truknya yang akan mengantar ayam kepada bos-nya pemilik rumah makan. Oleh Parto mereka dibawa ke tempat bos-nya, yang bernama Mbah Darti. Rumah makan ayam goreng milik Mbah Darti semakin laris-manis ketika Waranggana nyinden menghibur para tamu. Di tempat Mbah Darti inilah nama Dingklik Waranggana lahir.
Ada seorang kaya raya turunan ningrat namanya Den Mas Panji mengundang Dingklik Waranggana untuk nyinden di purinya. Namun ketika sampai di sana, birahi Den Mas Panji bergolak dan Dingklik Waranggana pun berontak. Dingklik Waranggana diam-diam melarikan diri dari rumah Mbah Darti, sampailah ia di kawasan Candi Borobudur. Di sana ia bertemu dengan Nyi Mimi, pesinden senior yang belakangan ternyata teman Nyi Inten. Rupanya pelarian Dingklik Waranggana terendus oleh kaki-tangan Den Mas Panji. Dengan siasatnya, Nyi Mimi menyelamatkan Dingklik Waranggana ke rumahnya yang berada di tlatah Banyumas.
Nah, di Wonosobo inilah karier sinden Dingklik Waranggana semakin moncer. Ia semakin banyak uangnya dan saatnya ia kembali ke simboknya dengan membawa sekeranjang emas. Ketika ia pulang dari berbelanja keranjang untuk menaruh emas-emasnya, ia mendapati Nyi Mimi yang sekarat di bawah tali jemuran, matanya melotot dan mulutnya berbusa. Masih ada nafas, Nyi Mimi dibawa ke rumah sakit dan tertolong jiwanya. Namun, Dingklik Waranggana gundah, jangan-jangan ia yang menjadi penyebabnya.
Dingklik Waranggana pun berlari meninggalkan rumah sakit dan pergi ke gunung. Karena kecapekan, ia pingsan. Ia pun ditolong oleh perempuan berambut dan berjubah putih dibawa ke dalam gua. Siapa penolong Dingklik Waranggana? Namanya Susan, peranakan Belanda. Ayah-ibunya dulu dibunuh oleh tentara Jepang, lalu ia yang masih bayi diselamatkan seseorang dibawa ke dalam gua yang sampai sekarang ia tempati.
Sementara itu, Nyi Inten dengan bantuan seorang wartawan pergi ke Wonosobo untuk bertemu dengan anaknya. Sayang sekali, Nyi Inten tak bisa bertemu anaknya karena Dingklik Waranggana hilang digondol wewe penunggu gunung. Nyi Inten yang sudah tua itu nekat mencari anaknya. Usaha yang nggak sia-sia. Anak-beranak itu bertemu di dalam gua milik Susan.
Seperti dongeng, kan? BTW, postingan ini banyak banget kata ‘ketika’-nya ya?