Judul buku: Putri Cina • Penulis: Sindhunata • Penerbit: Pustaka Gramedia Utama (2007) • Tebal: 304 halaman
Saya masih ingin membagi isi buku yang saya baca dengan Anda. Maklum, saya lagi rajin-rajinnya merapel membaca buku. Berikut saya kutipkan sebagian kisah Putri Cina dari Bab 5 yang terdapat di halaman 32-34:
Dongeng tentang runtuhnya Kerajaan Majapahit tentu saja menggembirakan hati Putri Cina. Maklum, hatinya pernah terluka, ketika ia diceraikan Prabu Brawijaya, hanya karena ia mau menuruti kecemburuan permaisurinya, si Putri Cempa. Demi Putri Cempa, ia dipergikan dari istana dan diserahkan ke Arya Damar, anaknya di Palembang. Sekarang luka hatinya terobati sudah, melihat Prabu Brawijaya dikalahkan oleh Raden Patah, anaknya sendiri yang lahir dari rahimnya.
Putri Cina juga amat bangga, menyaksikan, betapa anaknya telah menjadi penguasa baru di Tanah Jawa. Ia terharu juga. Karena anak yang lahir dari rahimnya itu membawa perubahan baru di Tanah Jawa. Tidak hanya dalam hal pemerintahan, tapi juga dalam hal agama. Ia yakin, anaknya akan bisa membuat manusia di Tanah Jawa bahagia karena taat pada ajaran dan jalan agama yang baru itu. Keyakinannya makin kuat karena bukan hanya Raden Patah, anaknya, tapi banyak dari kaumnya, orang-orang Cina itu datang bersama-sama saudagar-saudagar dari Gujarat ke Tanah Jawa. Sambil berniaga, mereka menyebarkan agama baru itu. Dengan demikian, berkat kaumnya pula, maka Tanah Jawa menjadi terbuka terhadap kegiatan dan kebudayaan baru yang dibawa agama baru tersebut ke Tanah Jawa.
Putri Cina sungguh bangga. Sebab kendati ia Cina, ternyata ia telah ikut menyumbangkan sesuatu pada perubahan besar-besaran yang terjadi di Tanah Jawa ini: beralihnya pusat kekuasaan dari Majapahit ke Demak dan bergantinya agama lama menuju agama baru. Tidakkah ini semua karena ia telah melahirkan anaknya, yang bernama Raden Patah?
Kebanggaan itu menyirnakan segala kegalauan hatinya. Dari dulu ia ragu tentang dirinya yang tak menentu. Jawaban atas keraguan itu adalah anaknya. Biar bagaimanapun dalam diri anaknya mengalir darahnya. Dan sekarang terbukti, anak itu terpilih untuk membuat perubahan sejarah di Tanah Jawa. Ia merasa, hidupnya ditakdirkan untuk itu. Sejarah seakan meminjam rahimnya, agar perubahan yang diinginkan bisa terjadi.
Dengan demikian tak sia-sialah kedatangannya ke Tanah Jawa ini. Kalaupun tetap tidak jelas, siapa dia dan dari manakah asal-usulnya, adalah jelas suratan takdir yang digariskan bagi hidupnya: Ia harus ikut memperanakkan perubahan yang sekarang telah terjadi di Tanah Jawa.
Kata pepatah Cina, manusia itu seharusnya seperti burung, yang terbang tanpa meninggalkan bekas dan tapaknya. Benar, pikir Putri Cina. Tapi itu hanya mungkin jika manusia sudah tahun dengan jelas, siapa dirinya, Cina atau Jawa. Tapi bila belum jelas siapa dirinya, mungkin Cina, mungkin Jawa, manusia itu juga terikat pada sebuah tanah dan meninggalkan bekasnya di sana. Sekarang kemenangan dan kejayaan anak yanag dilahirkannya telah menandai arti hidupnya. Tidakkah ini berarti juga, bahwa sekarang ia boleh menganggap Tanah Jawa ini adalah tanah airnya yang mengikat dia dan menentukan siapa dirinya?
Ia lega, bangga, dan merasa mulai. Betapa tidak? Dari rahimnya, Raden Patah, penguasa baru Tanah Jawa itu, lahir. Dan pada buah dadanya, anaknya, pembaharu Tanah Jawa itu, pernah menyusu. Ia teringat, ketika ia menimang-nimang anaknya dengan penuh kasih sayang. Tiap malam sebelum tidur, ia selalu memujikan, agar kelak anaknya bisa menjadi manusia yang luhur dan dihormati.
***
Putri Cina tak mampu menghalau kesedihan itu. Memang kesedihannya benar-benar dalam. Ia telah dibuang oleh Prabu Brawijaya. Dan sekarang, anaknya yang lahir dari Prabu Brawijaya, yang menjadi penguasa baru di Tanah Jawa itu, juga menyia-nyiakannya sebagai ibu. Itu semuanya terjadi mungkin karena ia adalah perempuan Cina. Itulah kesedihan Putri Cina yang harus ditanggungnya.
Kesedihannya bertambah, ketika ia dirambati perasaan bersalah ini: Ia telah melahirkan anak yang memerangi ayahnya sendiri. Sebab, bukankah untuk menegakkan Kerajaan Demak, Raden Patah telah menggulingkan Prabu Brawijaya dari Majapahit, ayahnya sendiri? Ia merasa bersalah, sebab ia menimbang-nimbang perkara tersebut dari ajaran leluhurnya yang ia pegang dengan teguh. Tidakkah ajaran leluhurnya mengajarkan, orangtua adalah segala-galanya bagai seorang anak, karena itu mereka harus dihormati dan dijunjung tinggi.
***
Kira-kira Anda tahu nggak, siapa sebenarnya Putri Cina tersebut?