Kyai Garuda Seta yang saya kendarai digedor-gedor orang berjubah putih supaya saya membelokkan mobil ke arah kiri. Massa telah memblokir jalanan. Saya baru menyadari kalau saya salah ambil jalur jalan, mestinya saya menghindari wilayah tempat konsentrasi massa berunjuk rasa. Berita tentang rencana massa berjubah putih yang akan melantik gubernur tandingan itu sebetulnya sudah saya baca, mestinya saya ndak usah melewati wilayah tersebut untuk menghindari macet.
“Sing waras ngalah wae, Mas!” ujar Pak Pangat yang duduk di samping saya.
Maka, saya pun belok kiri menjauhi kerumunan massa. Saya dan Pak Pangat tidak begitu paham jalan tikus ibukota, segera mengandalkan Google Map.
“Orang-orang itu seharusnya sinau kepada Kanjeng Sunan Kalijaga,” gumam Pak Pangat.
“Ya apa mau to Pak, kan Kanjeng Sunan itu keturunan Cina,” kata saya sekenanya. Meskipun saya membaca sejarah, delapan dari Wali Songo yang kita kenal adalah keturunan Cina.
“Pertama, lihatlah bagaimana Kanjeng Sunan berpakaian. Beliau tidak memakai baju gamis dan bersorban seperti orang-orang Timur Tengah,” papar Pak Pangat.
“Tapi ndak islami to Pak. Islam kan identik dengan jubah atau gamis dan bersorban gitu. Mereka berpakaian seperti itu niru-niru gaya Kanjeng Nabi to?” pancing saya.
“Karena Kanjeng Nabi hidupnya di negeri Arab tentu saja berpakaian seperti itu. Kira-kira Abu Lahab atau Abu Jahal berpakaian seperti itu ndak?” tanya Pak Pangat. “Mestinya yang ditiru dari Kanjeng Nabi itu sifat dan perilaku beliau. Apakah Kanjeng Nabi suka demo naik motor ndak pake helm?”
“Waduh Pak Pangat, kembali ke leptop deh. Tentang pakaian tadi bagaimana?” saya mencoba mengarahkan pembicaraan ke jalurnya.
“Kanjeng Sunan Kalijaga itu inovator kebudayaan yang ulung. Beliau merancang baju yang disesuaikan dengan iklim dan cuaca negeri ini. Surjan Jawa yang semula berlengan pendek, diubah menjadi panjang. Kemudian di ujung lengannya tanpa diberi belahan, biar terasa longgar kalau dipakainya. Di kemudian hari, pakaian semacam ini dinamai baju takwa,” tutur Pak Pangat, komplit.
“Kok beliau ndak pakai sorban, Pak?” pancing saya lagi.
“Orang Jawa kan punya blangkon. Untuk memakainya ndak perlu ribet, tinggal pakai. Plek,” kata Pak Pangat sambil memeragakan cara memakai blangkon.
“Ada pelajaran lain, Pak?” tanya saya tanpa mengurangi konsentrasi menyetiri Kyai Garuda Seta.
“Akeh. Kanjeng Sunan banyak menggubah tembang Jawa. Bikin cerita wayang. Tentu saja bukan wayang versi sampeyan yang suka slenco gitu!” Pak Pangat menembak saya.
Memang seperti yang saya baca dalam riwayat Kanjeng Sunan Kalijaga, ia menciptakan wayang purwa/kulit untuk mendidik budi pekerti dan moral orang Jawa. Ia menciptakan sebuat jimat milik Puntadewa alias Yudhistira yang bernama Kalimasada yang tak lain berarti kalimat syahadat.
Dalam ilmu pertanian, ia menciptakan ani-ani (alat untuk memanen padi) dan cangkul. Tentu saja ada unsur spiritualnya. Pacul berarti mapak barang kang mecungul (meratakan tanah yang bergunduk). Saya tertarik pada ajaran macul ini. Filosofi orang mencangkul adalah menggali bagian dalam yang masih subur untuk menggantikan bagian yang sudah gersang. Membuang dendam dan menggantinya dengan kelembutan.
“Sampeyan ngalamun, Mas?” tanya Pak Pangat mengejutkan saya.