Judul: Senja Jatuh di Pajajaran • Penulis: Aan Merdeka Permana • Penerbit: Tiga Serangkai, 2009 • Tebal: 746 halaman
Sub judul Kemelut di Istana Sri Bima merupakan buku 1 dari 3 buku yang direncanakan. Novel ini mengambil latar belakang kerajaan Pajajaran di ambang keruntuhannya, yang saat itu dipimpin oleh Prabu Ratu Sakti (1543 -1551 Masehi). Masuknya pengaruh Islam, menyebabkan terpecahnya wilayah Pajajaran, Kerajaan Cirebon di wilayah timur dan Kerajaan Banten di wilayah barat. Di dalam novel ini Aan Merdeka Permana (AMP) menyebutkan beberapa tarikh, sepintas memang ada kejanggalan tapi ini harus diteliti tersendiri oleh sejarahwan, misalnya menyebutkan peristiwa Perang Bubat 200 tahun sebelumnya, adanya meriam di wilayah jawa sekitar tahun 1500-an dan sebagainya.
Kisah dalam novel ini dimulai dari perjalanan seorang pendekar yang bernama Ginggi, yang selama sepuluh tahun digembleng oleh gurunya Ki Darma Tunggara, menuju ibukota Pakuan Pajajaran. Pesan utama Ki Darma adalah agar Ginggi ikut membela dan menyelamatkan Pajajaran dari kehancuran.
Rupanya, Ki Darma – bekas punggawa kerajaan Pajajaran yang disingkirkan oleh ayah Prabu Ratu Sakti (?) karena sikap kerasnya dalam mengkritik jalannya pemerintahan – mempunyai empat murid, yang harus dicari oleh Ginggi yaitu Ki Bagus Seta, Ki Banaspati serta si kembar Ki Rangga Guna dan Ki Rangga Wisesa. Masing-masing murid oleh Ki Darma diberikan tuga yang sama, yaitu menyelamatkan Pajajaran dari keruntuhan. Tapi yang terjadi adalah hanya satu murid Ki Darma yang benar-benar membela rakyat, yaitu Ki Rangga Guna. Dan Ginggi pun berpihak kepadanya.
Seperti halnya novel-novel lainnya yang menceritakan petualangan pendekar, AMP pun menceritakan kehebatan sang pendekar dalam membela rakyat kecil di setiap persinggahannya. Ginggi yang diceritakan sangat lugu dan tidak tahu tata aturan pergaulan, dengan sangat cepat menjadi ksatria yang cerdas dalam menyusun strategi pertempuran. Dan ini tentu sangat aneh, tapi ya harap maklum saja. Tetapi tiba-tiba, Ginggi menjadi bodoh kembali saat dia menghadapi kematian temannya, Seta. Jasad Seta harus diapakan, meskipun akhirnya dilarung di sungai. Padahal, sebelumnya Ginggi pernah punya pengalaman menguburkan tiga jasad perampok yang menyerang rombongan pembawa pajak pertanian.
Novel kurang seru kalau tidak ada bumbu asmara, nah AMP juga memberikan porsi itu, bahkan sampai kepada adegan persetubuhan Ginggi (yang baru beberapa hari turun gunung) dengan seorang gadis desa Nyi Santimi.
Kalau untuk sekedar hiburan semata, tidak ada salahnya Anda membaca novel ini. Tapi, kalau untuk referensi sejarah, nanti dulu. Barangkali nanti di buku ke 2 atau ke 3.