Sekartaji ketula-tula (3)

Melanjutkan penggalan dongeng sebelumnya.

Sia-sia saja mBok Rondo Dadapan menunggu kedatangan Panji Asmarabangun yang telah diangkat menjadi anak olehnya, padahal tiga hari sudah semenjak pamit padanya, tak ada kabar yang ia terima di mana keberadaan Panji. Maka, dengan semangat kasih sayang seorang ibu ia mencari Panji. Ia susuri sungai, siapa tahu tubuh Panji tersangkut pohon di pinggir sungai karena kintir aliran banjir.

Sayup-sayup telinga tuanya mendengar dendang nyanyian seorang gadis yang menarik hatinya. Tapi dari mana datangnya suara itu? Suara hantukah yang ia dengar?

Semakin mendekati arah suara, ia semakin bingung karena tak ada ujud manusia yang sedang bernyanyi. mBok Rondo Dadapan bimbang, hendak melangkahkan kaki menjauhi sumber suara.

“mBok, jangan pergi. Tolonglah aku!”

“Siapa kamu, nDuk? Di mana kamu? Aku tak bisa melihatmu.”

“Aku ada di bawahmu, mBok. Di dekat kakimu.”

mBok Rondo Dadapan membungkuk. Matanya mengamati seekor keong. Mungkinkah keong ini yang bicara dengannya? Ia pungut keong yang berwarna emas itu, lalu ia letakkan di telapak tangannya.

“Kamu kah yang mengajakku bicara?”

“Benar mBok. Jangan kaget, aku sebenarnya seorang manusia tetapi dikutuk oleh nenek sihir jahat hingga aku berujud keong!”

Syahdan, keong emas itu dibawa pulang oleh mBok Rondo Dadapan. Ajaib, begitu memasuki rumah keong berubah ujud menjadi seorang gadis cantik nan menawan berpakaian seperti puteri keraton. mBok Rondo Dadapan terkejut dan segera bersimpuh.

Keong yang telah berubah ujud menjadi sosok Sekartaji buru-buru mendekati mBok Rondo Dadapan dan menyuruhnya berdiri.

“Mbok jangan bersimpuh. Aku bukan siapa-siapa. Namaku Sekartaji. Karena mBok telah menolongku, sudikah sampeyan menjadi ibu angkatku?”

mBok Rondo Dadapan tentu saja sangat gembira mendapatkan Sekartaji sebagai anak angkatnya. Maka, sejak saat itu Sekartaji tinggal bersamanya. Dengan senang hati Sekartaji hidup bersama perempuan tua itu di pinggiran hutan.

Ketika Sekartaji membersihkan rumah, matanya terantuk pada sebuah benda di bawah tempat tidurnya. Sebuah ikat kepala motif batik berwarna cokelat. Ia sangat mengenali benda itu, tetapi kenapa bisa berada di dalam rumah mBok Rondo Dadapan?

“Berarti kakang Inu Kertapati pernah tinggal di rumah ini!” gumamnya. Ia lalu duduk di pinggiran dipan. Ikat kepala itu didekapnya. Pikirannya membayangkan wajah kekasih hati, yang siang malam ia rindukan. Ia menangis, saking kangennya.

semua kata rindumu semakin membuatku tak berdaya, menahan rasa ingin jumpa, percayalah padaku aku pun rindu kamu, aku akan pulang melepas semua kerinduan yang terpendam