Sedikit di bawah standar, cara jitu menikmati hidup

Terakhir kali saya menulis di The Padeblogan, pada Sabtu minggu lalu dan sekarang baru sempat nulis lagi. Dunia nyata saya memang sedang lucu-lucunya. Waktu saya praktis habis di jalanan. Bayangkan saja, dari rumah ke kantor yang dulu-dulu bisa saya tempuh dalam 30 menit, beberapa minggu ini bisa membengkak hingga 3 jam. Pulang-pergi memerlukan waktu kisaran 5 jam! Hal ini membuat capek fisik dan fikiran.

Luar biasa kemajuan kota Karawang. Semua merk otomotif pabriknya ada di Karawang. Efek dominonya, sarana penunjang mau tidak mau dibangun di sekitarnya. Perumahan kelas elit lengkap dengan segala fasilitasnya hingga RSS, ada. Hotel-hotel berbintang mulai dibangun di koridor jalan masuk kota Karawang. Masyarakat kelas menengah jumlahnya naik tajam. Mobil-mobil baru berkeliaran, sementara ruas jalan yang  ada tidak bertambah. Maka, macetlah akibatnya.

Tol Jakarta-Cikampek tak ada cerita lagi dalam kondisi lancar jaya. Saban hari macet, entah disebabkan oleh kelebihan jumlah kendaraan yang lewat atawa kecelakaan yang sering terjadi. Cilakanya, beberapa hari ini saya sering dinas ke Jakarta. Habis subuh kudu segera keluar rumah, agar tidak terlalu kena macet di tol. Tapi itu jarang terjadi, sebab selalu kena macet. Kalau saya berangkat jam 05.30, sampai di sekitaran Prapatan Mampang jam 09.00 atawa kadang lebih.

Hari Kamis kemarin saya menghadiri sebuah seminar tentang Green Building yang diselenggarakan oleh instansi tempat Mas Purwo bekerja. Seminar diadakan di sebuah hotel mewah yang dulu pernah dibom teroris itu. Saya senang bertemu dengan Mas Purwo, setelah sekian lama tidak bersua. Ia masih awet muda, resep rahasianya ada di sini.

Saat coffee break, kami mengobrol macam-macam dan saya suka mendengarkan ilmu filsafat yang keluar dari mulutnya. Saya mengamatinya, memang ia tetap melaksanakan pola makan yang baik meskipun banyak makanan mewah yang tersaji.

“Ke sini tadi kena macet ya?” ia bertanya sambil menyeruput teh hangat tawar. Kemudian ia memotong risol dengan garpu dan mencocolkannya pada saus sambal. Makanan itu dikunyahnya pelan dan lama. Ah, risol yang empuk seperti itu kenapa juga dikunyah lama?

Saya mengangguk dan mengiyakan pertanyaannya.

Nggak usah dikeluhkan, nikmati saja. Toh yang membuat macet kita-kita juga bukan? Mengeluh tidak bisa mengubah keadaan,” paparnya.

“Betul itu. O iya, barusan saya dengar Mas Purwo mendapatkan promosi ya?” tanya saya. Sebelumnya saya dibisiki temannya Mas Purwo. Pada jabatan baru yang disandangnya kini, fasilitas yang ia terima juga ditingkatkan.

“He…he… jabatan adalah sebuah tanggung jawab. Saya tak ingin mengubah gaya hidup yang selama ini saya jalani. Sedikit di bawah standar itu cara jitu menikmati hidup,” ujar Mas Purwo berfilsafat.

“Maksudnya, Mas?” tanya saya.

“Begini. Misalnya, pada posisi ekonomi sampeyan saat ini mampu beli mobil seharga setengah milyar, jangan memakai mobil kelas tersebut. Turunkan kelasnya, standarnya, setidaknya satu atawa dua di bawahnya. Contoh yang lain perkara makan,” ia kembali menyeruput tehnya.

Saya menganggukkan kepala mencerna kalimatnya.

“Meskipun sampeyan setiap hari mampu makan di restoran, jangan diumbar kebiasaan semacam itu. Turunkan sedikit standar. Sampeyan bisa beli ponsel pintar yang mahal, lagi-lagi turunkan satu-dua tingkat standarnya. Biar tidak kaget dan yang penting, jangan mentang-mentang. Ojo kagetan lan ojo dumeh. Filosofi Jawanya kan begitu, bukan?” kata Mas Purwo kemudian.

Kami diam sejenak.

Kok saya amati sampeyan jarang nulis lagi di The Padeblogan? Lagi sibuk apa?” pertanyaan Mas Purwo melenceng dari topik pembiacaraan.

“Ada pekerjaan yang lebih mendesak dikerjakan, Mas. Meskipun ide-ide di fikiran ini maunya dituangkan dalam tulisan. Mungkin iya saya nggak nulis di blog, namun saya ada kegiatan juga di bidang kepenulisan. Bulan kemarin kan terbitnya majalah yang saya asuh. Waktu-nulis tersita di sana,” papar saya.

“Apa sampeyan nggak ada niat bikin buku semacam chicken soup? Sayang kan, tulisan sampeyan yang jumlahnya lebih dari seribu tidak dibukukan?” pancing Mas Purwo.

“Insya Allah, mohon doanya. Dalam waktu dekat, saya akan menerbitkan dua buku saya!” saya coba memberikan kejutan kepadanya.

“O iya? Buku tentang apa?” ia penasaran.

Semalam di inbox saya masuk sebuah pesan dari penerbit dua buku saya. Satu judul buku sudah selesai cetak, satu buku lainnya minta approval saya dan hari ini siap naik cetak.

Perkara buku yang saya terbitkan, saya ceritakan besok saja.