Salah kostum

[1]

Selera berpakaian saya memang rada aneh. Saban hari saya batikan, seperti baju seragam kantor saja. Batikan bagi saya sangat nyaman, apalagi saya padu-padankan dengan celana jins. Memakai baju batik model tak dimasukkan ke celana, lumayan bisa menutupi perut buncit saya.

Namun, sudah dua Jumat ini saya nggak batikan. Bukan ikut-ikutan beberapa teman yang kini mulai senang beroblong-kerah. Saya kasihan saja pada baju kotak-kotak yang terlalu lama tergantung di lemari, makanya saya pakai di hari Jumat.

Karena pada dua Jumat tersebut cuaca pagi lumayan cerah, saya kembali melakukan jalan-jalan pagi di jogging track. Sepatu kets saya kenakan seharian. Toh mecing juga kan dengan baju kotak-kotak dan celana jins agak belel?

[2]

Beberapa waktu yang lalu saya mendapatkan undangan “The Wedding“. Ya, memang demikian tulisan di lembar undangan sebab undangan dibuat dalam bahasa Inggris, sedangkan petikan surat Rum ayat 21 yang jamak dicantumkan dalam undangan perkawinan dibiarkan tercetak dalam bahasa Indonesia.

Kenapa undangan tersebut berbahasa Inggris? Mungkin karena pengantin pria-nya orang Jepang. Dalam undangan tertulis, walimahan dilaksanakan pada Jumat, 28 Feb 2014 malam bertempat di Ballroom Hotel X. Karena pikunitas saya gradasinya cukup signifikan, saya melupakan undangan tersebut.

[3]

Semalam, sambil menunggu kemacetan lalu-lintas jalan tol mereda saya isya-an dulu di kantor, baru pulang ke rumah. Kok ndilalah pas melewati Hotel X dengan janur melengkung di pintu gerbangnya, saya teringat undangan “The Wedding“. Saya harus menghadiri undangan ini, apalagi undangan diantar langsung ke kantor. Saya pun menghentikan Kyai Garudayaksa untuk memeriksa dashboard apakah masih tersedia amplop pernikahan dan puji Tuhan masih ada dua lembar.

Setelah menyegel amplop, saya belokkan Kyai Garudayaksa menuju parkiran hotel. Wah, parkir penuh. Banyak betul tamu undangan yang hadir. Pas menginjakkan kaki di pintu lobi, mak-deg hati saya. Lah, pakaian saya kok semacam ini.

Langkah kaki saya mantapkan saja. Menuju ruang resepsi disambut oleh pagar bagus berjas rapi dan pagar ayu berkebaya menik-menik. Setelah ngisi absen dan memasukkan amplop, saya masuk ruang resepsi. Mata saya sapukan, oh… para tamu makan di meja bulat a la table manners kebanyakan laki-lakinya berjas dan batikan lengan panjang. Di antara mereka ekspatriat Jepang, satu-dua saya mengenalnya.

Saya berjalan menuju panggung pelaminan. Tapi nggak boleh turun dulu, mesti difoto diapit sepasang pengantin. Salah kostum saya makin terasa parah: baju pengantin pakai gaya Eropa, tuxedo necis pas banget dengan badan atletis pengantin pria, gaun putih berekor panjang menambah anggun pengantin perempuan, sementara gaya berpakaian saya baju kotak-kotak (tidak dimasukkan celana) dengan perpaduan celana lepis hitam-buluk plus sepatu kets. Tapi, ketika difoto saya tersenyum semanis mungkin.

Aku ra popo, kok!