Sedang ngepet

Malam sudah hampir menabrak dini hari. Perempuan itu tetap setia bersimpuh di depan lilin yang ditaruh di tengah baskom berair yang ditaburi bunga setaman. Matanya harus selalu terjaga untuk memastikan nyala lilin sempurna memancarkan api. Nyala api lilin tak boleh bergoyang, apalagi padam kecuali dipadamkan oleh hembusan nafas yang keluar dari mulutnya.

Menjaga nyala lilin saban malam Selasa Kliwon adalah salah satu bentuk kesetiaannya kepada suaminya. Setia menjaga raga sekaligus jiwa orang yang menafkahinya lahir dan batin.

“Jaga lilin baik-baik istriku sayang! Malam ini aku akan kembali membawa harta yang melimpah,” telinganya masih terngiang pesan suaminya sebelum melangkahkan kaki keluar rumah.

Lelaki itu keluar rumah lewat pintu belakang.

Ia segera mengenakan jubah tipis berwarna hitam dan seketika tubuhnya berubah ujud menjadi seekor babi. Ya, seekor binatang yang buruk rupa kulit berwarna hitam dengan bulu-bulu kaku tumbuh tak beraturan di sekujur tubuhnya dengan moncong bertaring yang selalu meneteskan air liur.

Siluman babi.

Kaki-kaki mungilnya bergerak lincah, tak peduli onak-duri yang tersebar di sepanjang perjalanannya. Tujuannya jelas, menuju rumah orang paling kaya di kampung sebelah. Namanya juga siluman babi, dengan mudahnya ia menembus tembok rumah tanpa perlu membuka pintunya.

Langsung saja ia menuju kamar tidur orang paling kaya itu, kemudian matanya nyalang memastikan letak harta disimpan. Lemari kayu jati ia tandai. Kemudian dengan langkah pelan – supaya tak membangunkan penghuni rumah – ia menuju pintu lemari.

Ia gosok-gosokkan tubuhnya di pintu lemari. Memang demikian cara siluman babi mengambil harta orang lain. Satu demi satu harta benda pemilik rumah masuk ke dalam perutnya.

Malang bagi siluman babi. Penghuni rumah terbangun dan sangat terkejut ada seekor babi masuk kamarnya. Secara spontan ia berteriak, “Ada babi ngepet…. ada babi ngepet….!”

Teriakan tersebut membangunkan semua penghuni rumah, lalu terjadi teriakan sambung menyambung. Siluman babi terkurung.

“Wahai istriku, cepat matikan lilin. Suamimu dalam bahaya sangat besar,” gumamnya.

Perempuan yang diajak bicara itu kini tengah memejamkan matanya di depan baskom yang ditengahnya nyala api lilin yang bergoyang hebat. Ia tak mampu menjaga mata supaya tetap terjaga.

Ia terbangun ketika air di baskom bergolak dan membasahi kakinya. Nyala lilin telah padam dan bunga setaman berserakan. Ia menyesali keteledorannya karena tak bisa bersetia kepada suaminya.

Namun semua itu terlambat sudah. Di kampung sebelah, jasad suaminya terbujur kaku penuh dengan luka.