Secangkir kopi susu buatan suami bermakna pengertian

Ia mengerti ketika saya lelah. Ia mengerti ketika saya tengah marah. Ia mengerti ketika saya dikejar deadline. Ia mengerti ketika saya risau. Ia mengerti ketika saya sedih. Jika bukan secangkir kopi susu, suami membuatkan beragam minuman suprise yang kelak akan kami patenkan bagi restoran kami. Perasan jeruk dan soda. Teh dan soda. Susu dan sirup. Coklat, susu, ditambah kopi. Adakalanya hanya segelas tinggi es teh dengan aroma tawar saat kantong sedang menuju ke lapisan paling tipis di akhir bulan. Minuman itu, kadang ia sengaja meramu sendiri khusus bagi dirinya, pada akhirnya menyisakan separuh untuk saya sebagai teman kencan dengan laptop di malam hari. Seringkali ia sengaja membuat minuman penahan kantuk agar dapat menemani istrinya menyelesaikan naskah.

Indah sekali bukan? Romantis. Ia bukan tipologi suami yang suka menghadiahkan sekuntum bunga atau minyak wangi, tapi begitulah kira-kira caranya mengungkapkan kasih. Pertanyaannya, apakah semua ini berjalan seperti ini sejak semula?

Tidak adalah jawabannya.

Tak mungkin sebuah tim kesebelasan sepak bola bermain solid tanpa cedera, tanpa bersinggungan, tanpa saling menubruk, tanpa diskusi taktik dengan urat leher hampir putus. Begitu pun kami berdua. Kami kadang berselisih tentang rumusan sifat-sifat dasar kami sebetulnya.

“Mas kadang sadis, ya!”

“Belasan tahun kita nikah, Ummi belum paham juga?”

“Kapan Mas belajar untuk tidak menyakiti?”

“Kapan Ummi mencoba mengerti?”

Kapan seharusnya kita gencatan senjata?

Ketika anak-anak memandang dengan berlinang air mata dan bertanya:

“Abah, Ummi, kenapa bertengkar? Abah Ummi mau cerai ya seperti yang di televisi?’

Sedihnya.

Cerai? Membayangkan saja mengerikan, hampir tak terlintas bagaimana kita sanggup menghancurleburkan sebuah kapal dengan seluruh awak kapalnya. Saya mengerti kenapa orang bercerai, bukan berarti ingin mengalaminya. Saat meyakini kita ingin mempertahankan biduk ini, pasti akan mencoba mencari titik temu, sekusut apapun masalahnya.

Laki-laki mudah disentuh oleh perkataan lunak, bukan oleh sikap yang menunjukkan kita sedang tak ingin dibantah. Keberhasilan tergantung pola komunikasi dan pola ini harus diterapkan sedikit demi sedikit pada suami termasuk anak-anak. Anak-anak adalah pihak yang sering terlupakan sebagai penyumbang masalah sekaligus penyelesaiannya. Berapa kali sepekan kita bersitegang dengan suami karena masalah anak-anak yang tak suka membaca Quran, enggan shalat ke masjid, selalu bertengkar dan suka menunjuk orang lain tiap kali dibebani kewajiban? Saling menyalahkan adalah langkah paling cepat menyelamatkan diri sendiri, sekaligus langkah paling cepat menghancurkan pernikahan.

Setelah kebiasaan meledak-ledak yang kadang membuat suasana tak nyaman bagi seisi rumah, saya mencoba cara lain berkomunikasi. Saya tanyakan apa sih yang menyebabkannya marah? Maunya bagaimana? Jika ia mengijinkan saya beraktivitas, saya tanyakan detil teknis sejelas-jelasnya termasuk segala kendala yang mungkin terjadi. Misalnya, saat pertama kali pindah ke Surabaya kami hanya memiliki satu sepeda motor yang sering dipakainya ke kantor. Otomatis, jika saya harus melaksanakan agenda dakwah atau roadshow buku ke sekolah-sekolah, harus naik taksi karena line angkot tak masuk ke kompleks rumah kami.

Anggaran biaya yang membengkak, solusi alternatif sumber ekonomi, penekanan pembiayaan saya catat detil dan saya serahkan padanya untuk didiskusikan. Kadang kami sepakat, kadang tidak. Yang pasti, kesan garang pada diri suami lambat laun berubah. Ia memang keras wataknya tapi masih bisa dicari celah-celahnya. Lagi pula, kenapa sih seolah-olah istri menjadi makhluk tertindas. Padahal pada kenyataannya, suami tidak melulu pihak superior. Adakalanya perempuan memegang kendali lebih kencang, kelembutan wataknya tak memperlihatkan bahwa ia berada di atas angin.

Suami bukan pihak yang melulu benar, seringkali kitalah yang benar tapi tak tahu bagaimana cara menyampaikan kebenaran dengan cara yang benar, sehingga yang benar tampak tak benar. Hm, bingung ya?

Sekali waktu pernah saya mencoba bermain peran egosentris: pokoknya harus saya! Tampaknya menang dengan telak karena suami mati kutu, tapi posisi ini tak bertahan lama. Ledakan demi ledakan hubungan kami menjalar cepat ke bagian lain dalam rumah tangga. Anak-anak adalah aset teramat mahal yang sayang jika harus dikorbankan. Sering kita mengabaikan perasaan mereka dan menganggap ini adalah pertempuran kita, bukan pertempuran mereka. Tak perlu anak-anak turut campur dalam perselisihan ini, padahal anak-anak paling merasa bersalah jika orang tua mereka bertikai.

Dalam kedewasaan usia, bukan berarti diikuti kedewasaan pernikahan secara linear. Mungkin saja kita semakin kekanak-kanakan seiring buah hati beranjak remaja. Sentuhan-sentuhan kecil bagi pernikahan adalah ramuan mujarab untuk menghangatkan situasi hambar. Secangkir kopi susu salah satunya. Sebagai balasan, saya mencoba merapikan rambut tiap kali menyambut suami dan menyelipkan jepit mungil sebagai hiasan, hal mana yang sudah sangat lama saya lupakan.

~oOo~

Penggalan artikel di atas ditulis oleh Sinta Yudista dalam buku Muhasabah Cinta Seorang Istri oleh Asma Nadia, dkk yang diterbitkan Lingkar Pena Publishing House & Asma Nadia Publishing House (Oktober, 2009), dengan judul Secangkir Kopi Susu, hal 85 – 89.
Buku ini merupakan media muhasabah bagi muslimah. Untuk yang sudah menikah, maka Muhasabah Cinta adalah obat untuk menelusuri cinta yang mungkin sempat pudar, dan menjadi setetes embun bagi harumnya bunga pernikahan. Bagi yang belum menikah, akan memperbaiki persepsi dan memberikan kesiapan yang lebih baik untuk menyambut pernikahan, menjadi istri dan ibu. Artikel yang disajikan dalam buku ini, Aku Perlu Suami yang Sabar (Tria Barmawi), Suami Jempol Istri Error (Beby Haryanti Dewi), Cinta Tak Selalu Merah Muda (Mariskova), Romantis vs Realis (Nr. Ina Huda), That Sweet Thing (Dyotami Febriani), Secangkir Kopi Susu (Sinta Yudista), Si Dia (Sitaresmi Sidharta), I don’t Realize that You Love Me Much, Until… (Yulyani Dewi), Demi Ayat-ayat Cinta (Yunita Tri Damayanti), Tanpa Dia, Aku Takkan Berhasil (Rini Nurul Badariah), Ketika Ratu Pemalas Menanggalkan Gelarnya (Dewi Rieka), Guru Kehidupan (Meidya Derni), Karena Aku Belum Siap Kehilangan Kamu (Ade Sophia Winstar) dan Kalau Ada yang Berubah (Yudith Fabiola).